Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stempel Miskin yang Melahirkan Perdebatan Hati dan Akal

6 Juni 2020   20:38 Diperbarui: 6 Juni 2020   20:37 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi Syarifah Lestari

Dalam perjalanan menuju Titian Gentala Arasy, melintasi Arab Melayu, kuperhatikan beberapa rumah mendapat stempel merah.

Awalnya kukira itu semacam "tanda dipermalukan ala bank", tapi melihat banyak dari rumah tersebut yang kurang cocok untuk jadi agunan, maka kuperhatikan lagi tulisan yang tertera di sana.

Sayang aku hanya mengambil satu gambar, itu pun dari jarak jauh. Yang ketika di-zoom tidak terbaca. Kenapa dibidik dari jauh? Menjaga perasaan yang punya rumah, khawatir salah paham atau tersinggung.

Kenapa aku tertarik mengambil gambar? Karena merasa heran. Perlu ya, orang miskin diberi stempel?

tribunnews.com
tribunnews.com
Ketika aku mencari gambar terkait stempel miskin itu (karena hasil bidikanku tak maksimal) di Google, rupanya bukan hanya aku yang merasa tak nyaman dengan stempel tersebut. Kasus yang sama terjadi di Pekanbaru dan menuai kecaman pengamat, karena dianggap menjatuhkan harga diri para penerima bantuan.

Karena aku yang jarang keluar selama pandemi atau memang tak perhatian, stempel serupa tak pernah kulihat di wilayah bagian selatan Sungai Batanghari yang membelah Kota Jambi. Di bagian utara ini yang banyak.

Dari menjelang Jembatan Aurduri hingga melewati Menara Gentala Arasy, ikon Provinsi Jambi yang terkenal itu, menuju Tahtul Yaman.

Bagaimana ya mendeskripsikannya, walaupun tak termasuk warga yang mendapat stempel maupun bantuannya, tapi aku tak nyaman melihat tanda itu. Entahlah, sulit dijelaskan.

Tapi berbeda dengan video viral yang pernah (atau masih beredar?) tentang penerima bantuan yang difoto. Pernah lihat? Rekaman video itu sepertinya diambil di India, kemudian dibuat captionnya oleh kreator Indonesia.

Opini yang muncul di video itu adalah tentang tidak etisnya memberi bantuan sembari mengambil gambar, atau merekam kegiatan serah terima yang tengah berlangsung.

Aku tidak setuju pada stempel miskin tapi tak setuju pula pada caption yang ditempelkan pada video tersebut. Jika stempel membuat tak nyaman, caption video menurutku berlebihan.

Pertama, kejadian yang ada di video besar kemungkinannya tidak diambil di Indonesia. Artinya, tak ada jaminan caption ala Indonesia sesuai dengan kejadian/kebiasaan di India atau negara mana pun itu.

Kedua, mengambil foto atau video biasanya dilakukan sebagai bagian dari administrasi. Bukti sudah disampaikannya amanah dari yang menitipkan. Sebab kegiatan semacam ini kebanyakan dilakukan oleh lembaga sosial yang menerima dan menyalurkan donasi.

Kalaupun dilakukan oleh perorangan, bisa jadi ia ingin menginspirasi orang lain. Tapi sebagai orang Indonesia, rasanya jarang kutemukan yang begini di Tanah Air. Ada, tapi sangat sedikit.

Kemudian beralih ke berita lain pada list temuan Google.

kompas.com
kompas.com
Kali ini stempel miskin menuai protes tapi karena hal lain. Ternyata ada rumah yang terlalu mewah untuk mendapat label tersebut. Entah malu atau takut ketahuan, beberapa dari penerima bantuan yang sebenarnya tak layak menerima ini, menutup stempel yang melekat di dinding rumahnya dengan berbagai gambar.

Sebenarnya ada cara lebih gampang sih. Kalau malu, ya mundur! Jadi bantuan bisa sampai tepat sasaran. Tapi balik lagi ke awal, gak enak juga melihat rumah yang distempeli tulisan "keluarga miskin", meski kondisinya mendukung. Jadi bingung kan, bagusnya diberi stempel atau tidak sih?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun