Jujur, untuk urusan gawai, aku dan suami bukanlah orangtua yang ideal untuk dijadikan contoh bagi anak-anak. Kami bekerja pada jam yang tak beraturan dan 90% dari pekerjaan itu bergantung pada gawai.
Aku meyakini prinsip "nasihat terbaik adalah dengan teladan". Jadi kalau tak bisa lepas dari gawai, bagaimana pula menjauhkan orang lain dari benda sakti itu?
Oke sebagai anak, yang posisinya lebih lemah dari orangtua, mereka tentu manut. Tapi aku khawatir di dalam hati mereka berontak, dan perbuatan kami jadi contoh di masa yang akan datang. Tak apa melarang orang begini begitu tapi kita tetap melakukannya. Yang penting kita berkuasa.
Itu pasti jadi investasi sikap mental yang buruk.
Tapi sebagai orangtua, tentu tidak tepat membiarkan anak begitu saja dengan gawai yang kita tahu dapat digunakan untuk sangat banyak hal positif maupun negatif.
Apalagi sejak pandemi, anak-anak yang tadinya hanya sesekali bermain HP dan nyaris tak pernah nonton TV, akhirnya mau tak mau berurusan dengan perangkat itu. Baik untuk urusan sekolah mereka maupun hiburan daripada bermain di luar rumah yang saat ini begitu riskan.
Sebagai orangtua dengan ilmu ala kadarnya dan minim pengalaman, inilah yang kami terapkan dalam mengontrol aktivitas anak-anak bersama gawai.
Letakkan HP Ketika Waktu Salat Tiba
Di luar tugas sekolah, biasanya untuk dapat jatah bermain HP, anak-anak wajib setor hafalan Al-Qur'an dulu. Banyak alasan kenapa aturan ini kami terapkan, salah satunya untuk pembiasaan. Agar mereka tak hanya akrab dengan HP, tapi juga dengan kitab sucinya.
Mungkin karena berkah bacaan Al-Qur'an, jika mendengar azan dan mereka sedang asyik dengan HP, secara otomatis mereka akan meletakkan gawai dan menunaikan salat dulu. Padahal setelah salat, mereka harus setor lagi kalau ingin bermain HP.
Itu pun kalau emaknya mau terima setoran, kalau dirasa waktu bermain gawainya sudah terlalu panjang, permintaan mereka ditolak. Ya sudah, mereka main masak-masakan atau berantem sampai nangis dan akur lagi.
Setiap Akun Menggunakan Surel Orangtua
Bukan semata aturan Google yang mewajibkan usia di atas 13 atau 18 tahun untuk akun atau aplikasi tertentu. Tapi ini lebih kepada upaya kontrol. Toh kita bisa saja mengelabui Google soal usia.
Bukan hanya mengontrol anak, tapi juga diri sendiri. Ingat, apa yang kita telusuri akan terus melekat pada gawai yang terhubung dengan surel (surat elektronik) tersebut. Jangan sampai jejak "ngawur" orangtua terlihat di anak dan memancing rasa penasaran mereka.
Jadi bijaksanalah ketika menelusuri laman internet. Mode penyamaran memang tak menyimpan histori, tapi juga tidak melindungi kecenderunganmu.
Cek History Aktivitas
Secara random kucek histori aktivitas anak-anak di HP yang mereka pakai. Chatting dengan siapa, nonton apa saja, dll.
Tak banyak aplikasi yang ada di HP mereka. Hanya Whatsapp untuk tugas sekolah, Youtube untuk hiburan, permainan, dan beberapa aplikasi bawaan.
Youtube kusetel mode terbatas agar mereka hanya bisa mengakses video yang tergolong aman untuk anak-anak. Teman-teman toksik di WA kuhapus dan kublokir kontaknya. Meski proses setting dan hapus kulakukan di belakang mereka, tapi aku menjelaskan alasannya agar mereka mengerti.
Yang paling penting adalah mereka paham bahwa yang dilakukan orangtua adalah demi kebaikan mereka sendiri. Dilakukan karena sayang, bukan maksud mengekang.
Sejauh ini tiga hal di atas cukup efektif membuat mereka terbebas dari berbagai ciri anak kecanduan gawai. Setidaknya sembari orangtua mereka mendapat tambahan wawasan, menjelang mereka bertambah usia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H