Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pura-pura Miskin untuk Lepas dari Kemiskinan

11 Mei 2020   13:27 Diperbarui: 11 Mei 2020   13:29 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi) Photo by zhang kaiyv

Waktu aku kecil, ada seorang nenek yang kerap berjalan kaki melewati tempat tinggal kami. Aku tak ingat pasti bagaimana penampilannya, tapi yang jelas ketika itu banyak yang merasa iba setiap melihatnya.

Masalahnya, kampungku tak pantas didatangi pengemis. Cocoknya pejabat atau orang kaya kurang syukur yang bermain kemari. Melihat bahwa tanpa harta melimpah kami masih bisa ketawa senang, anak-anak main gembira meski satu dua koreng di kaki masih basah.

Sampai kemudian, nenek itu lewat lagi. Aku memandanginya penuh haru. Kasihan, sudah tua masih hidup di jalanan, batinku.

Lalu teman yang juga kakak kelasku di sekolah bilang, "Dak usah percayo nengok nenek tu. Icek-icek miskin dio tu. Rumahnyo besak, ado pespa!"

Meski dulu Vespa belum jadi barang antik, siapa yang memilikinya otomatis dilabeli orang kaya. Itu versi kampungku.

"Kapan-kapan kalo kito ke TAC, kau tengoklah rumahnyo, betingkat!" kawanku terus meyakinkan.

Aku berharap ucapannya benar. Aku lebih suka merasa ditipu daripada mendapati nenek itu benar-benar miskin dan telantar di jalanan.

Mungkin itu salah satu sebab aku tak suka menonton TV. Dulu, sebelum Dunia dalam Berita di TVRI, sering muncul adegan perang Bosnia yang memperlihatkan anak-anak korban perang mengejar-ngejar mobil pickup. Dengan backsound Imagine-nya John Lennon, rasanya sedih betul, sampai-sampai terbawa tidur.

Setelah dewasa baru sadar, lagu itu ngawur!

Tapi perasaanku melihat orang yang kesusahan, lebih kurang masih sama. Pasti bukan hanya aku yang begitu, melainkan ada jutaan manusia, bahkan lebih dari jutaan. Sebagai manusia, kita memang dibekali simpati dan empati.

Hanya saja, pengalaman kecil itu (meski belum sempat membuktikan, tapi banyak orang yang mengatakan bahwa nenek itu hanya acting) membuatku punya imun yang entah doa atau imajinasi.

Setiap melihat orang susah, sedang aku tak punya apa-apa untuk membantu, kubayangkan bahwa dia sebenarnya tidak susah. Ya sambil berdoa sih, sayangi dia ya Allah. Jadi kalau dia bohong, biar dapat hidayah. Kalau betul susah, mudah-mudahan cepat keluar dari kesulitan hidupnya.

Sehingga aku tak jadi korban seperti warganet yang membagikan video Abah Tono. Nah, siapa lagi itu?

baca juga: Pelajaran Hidup dari Kang Dorong

Kalau Ferdian Paleka ditangkap polisi karena video prank-nya, Abah Tono mungkin tak akan berurusan dengan polisi karena "prank"-nya pada si pembuat video.

Salah satu akun Twitter membagikan video berisi potongan kisah seorang kakek pemulung. Dalam video tersebut, sang kakek bercerita tentang kesehariannya yang hanya mendapat uang 1500 sampai 2000 rupiah saja.

tangkapan layar dari akun Twitter RonaldAntoniooo
tangkapan layar dari akun Twitter RonaldAntoniooo
Kakek ini adalah orang yang penuh syukur, karena dengan pendapatan yang sangat minim itu, ia sudah bisa membeli kerupuk untuk makan sehari-hari. Mengharukan bukan?

Belakangan diketahui kakek itu bernama Tono. Biasa dipanggil Abah Tono. Warganet lain yang merupakan tetangganya, membagikan foto penampakan rumah sang kakek.

Kalau saja Abah Tono bersandiwara di tahun 90-an, ketika aku masih main sepeda lepas tangan. Bikin egrang dan judi kecil-kecilan dengan kartu gambaran, mungkin kedoknya akan lama terbongkar.

Tapi di zaman media sosial dimiliki hampir semua penduduk planet ini, terlalu remeh hanya untuk membuka fakta di balik kebohongan mengada-ada soal makan kerupuk modal dua ribu sehari.

Nyatanya, Abah Tono memiliki rumah dua lantai yang tak pantas setitik pun disebut rumah orang susah. Ia tak punya utang di warung tetangga (bagus sih!), malah mampu beli sepeda motor secara cash!

Kalau sudah begini, kasihan yang memang betulan orang tak punya. Kita akhirnya diajari untuk menekan rasa empati, karena khawatir dikibuli lagi dan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun