Aku pernah menjadi seorang desainer grafis. Eh, terlalu keren istilahnya. Kerjaku hanya mendesain piagam, spanduk, dll waktu itu.
Kalau pemilik percetakan itu belum pensiun, di masa WFH ini tentu makin luang waktunya mencari tambahan. Bukan, bukan tambahan. Dia pernah bilang pada salah satu klien, PNS-nya itu yang tambahan.
Yup, Pak Bos berpakaian rapi setiap pagi, isi absen sebentar, lalu pulang. Menjelang sore ia rapi lagi, lalu pulang melanjutkan pekerjaan utamanya sebagai pengusaha percetakan.
Bisa dibilang, ada ilmu melimpah yang ditinggalkan karyawan sebelumku di PC kantor. Ia menyimpan sekian banyak file mentah di Photoshop dan CorelDraw yang bisa kupelajari step-step proses desainnya.
Tapi yang cukup mengherankan (awalnya) adalah begitu banyak hasil scan tanda tangan dalam format PNG. Ketika nama-nama file itu kutelusuri, semuanya adalah nama pejabat!
Seiring berjalannya waktu, aku akhirnya paham kenapa ada banyak file tanda tangan di sana.
Nyaris setiap hari ada permintaan edit KTP dan STNK. Masa itu, belum ada KTP elektronik. Kebanyakan yang diubah adalah tanggal masa berlaku. Nantinya hasil cetak difotokopi agar lebih tersamar.
Kerjanya sangat mudah. Tinggal scan dokumen, cari font yang sama, lalu timpa tanggal asli sesuai dengan permintaan pemesan. Tak lebih dari 10 menit! Dalam sehari, kalau kuturuti bisa puluhan dokumen yang kupalsukan.
Dosa kan? Iya jelas! Makanya kutolak. Sebagai karyawan baru, lebih mudah mengatakan tidak bisa. Meski yang kumaksud tidak bisa adalah hati, bukan tanganku. Tampak sekali wajah kecewa bos setiap aku menolak "rezeki" yang datang.
Aku tiba-tiba teringat kenangan lama itu karena hari ini adalah Hari Buku Internasional atau World Book Day. Yang mana di salah satu momen, kami kedatangan proyek besar. Ada pesanan buku dalam jumlah sangat banyak dari salah satu kampus.
Bukan mencetak buku, tapi menggandakannya. Apa lagi kalau bukan pembajakan. Aku ingat betul, waktu itu tahun akademik baru sedang berjalan di beberapa kampus.
Si bos sepertinya tahu aku akan menolak lagi. Jadi ia berdiri lama di dekat PC, "Jangan bilang dak bisa, cuma scan gambar! Isinyo tinggal fotokopi," katanya.
"Dio penulis, Pak. Dak sangguplah membajak buku." Teman kerjaku yang menjawab.
"Saya tau kamu tu biso ngubah KTP samo STNK. Bohong bilang dak biso. Kamu bilang membajak? Ini yang mesan dekan!" tangannya berkacak pinggang.
Kulirik nama penerbit buku itu, tempat ini percetakan, bukan penerbitan. Kami tak punya hubungan kerja sama dengan penerbitan itu. Apa pula urusannya dengan dekan?
Akhir bulan, masih dalam bulan yang sama dengan aku pertama diterima di sana, bos datang ke ruanganku. Bersama teman yang kemarin membela, kami dinyatakan selesai bekerja di percetakan itu.
Lumayan sedih, mengingat fasilitas dan banyaknya ilmu yang bisa kudapat di sana. Tapi mungkin itu jawaban atas keresahanku. Nasib menyuruhku menjauh karena dianggap tak akan mampu mengubah orang lain. Malah aku yang bisa berubah jika tetap di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H