Mengenang-ngenang masa kerja dulu, ada rasa syahdu sekaligus lucu. Salah satu yang paling kuingat adalah ketika aku menolak mengikuti tes psikologi.
Entah kena angin apa, tahu-tahu tiga pengurus yayasan sepakat akan melakukan tes psikologi untuk seluruh karyawannya. Oh iya, kalau tak salah sebelumnya sempat ada pelatihan talent maping. Lalu direncanakan menempatkan karyawan sesuai minat dan bakat.
Niatnya bagus, tapi pada pelaksanaannya, menurutku kurang tepat. Sebab untuk melakukan tes psikologi, biaya yang dikenakan oleh lembaga penguji separuhnya dibebankan kepada karyawan.
Sampai sekarang aku tidak tahu, apakah aku benar atau salah. Saat itu aku menolak ikut tes, sebab aku merasa sudah mengenal diriku seutuhnya. Apa lagi yang pengin kuketahui?
Kalau orang lain merasa perlu tahu apa yang ada di benakku, minat bakat yang tak pernah kuceritakan, atau apa pun yang mereka merasa berhak tahu, maka merekalah yang seharusnya mengeluarkan biaya. Bukan aku.
Karena ruanganku tidak tergabung dengan karyawan lain, hanya aku dan atasan yang tahu bahwa aku menolak keputusan itu. Jadi penolakanku direstui. Dari seluruh karyawan, bahkan yayasan yang juga owner, turut dites. Hanya aku yang tidak.
Akibatnya, dua dari tiga orang itu cemberut padaku. Bodo amat, cari duit susah tau!
Kemudian tes dilakukan. Lembar hasil tes diolah dulu ke Jakarta, perlu beberapa hari untuk mendapatkan kesimpulan tentang karakter seluruh peserta tes.
Aku tidak tahu secara pasti, yayasan punya rencana apa dengan tes itu. Bahkan hingga kini kulihat hasilnya tak efektif sama sekali. Sejak tes itu hingga aku resign tidak ada perubahan posisi, kami tetap pada posisi ketika melamar pekerjaan.
Eits, aku dilamar. Iya, mereka yang minta aku membantu. Ih sombongnya!
Aku pernah ditawari pindah ke posisi lain, tapi kutolak. Tak suka. Mereka juga pernah menolakku terlibat dalam beberapa pekerjaan karena tahu aku tak terampil di sana. Nah itu tahu kan! Jadi buat apa tes psikologi lagi?
Kalau terkait kepercayaan, karena pada beberapa jobdesk aku harus bersentuhan dengan uang yang banyak, kenapa sejak awal aku ditempatkan di sana? Pokoknya semua serbamisteri.
Hari yang mereka tunggu-tunggu pun tiba. Aku tidak menunggu dong, malah aku ditinggal di kantor sendirian. Psikolog memberi materi tentang kepribadian manusia, kecerdasan, dll, pada karyawan dan yayasan di aula. Aku gaul dengan laptop di kantor.
Hal terkocak yang terjadi hari itu, ketika salah seorang yayasan kemudian masuk ke kantor diikuti psikolog, mereka ngobrol di depanku. Benar-benar jelas di hadapanku, tak lebih dari 2 meter.
Psikolog berkata, "Orang yang ini, Bu, jangan kasih pegang uang. Tak bisa dipercaya!"
Ekspresi atasanku shock.
"Dia cerdas, IQ-nya paling tinggi di sini. Tapi paling tidak bisa dipercaya. Tipikal seperti ini berbahaya jika diberi kewenangan. Satu lagi, dia suka memanfaatkan orang lain."
Aku pasang tampang sibuk. Jujur, kalau ada antena di telingaku, dia pasti sudah naik tinggi.
"Kalau yang lain gimana, Pak?" tanya bos pada psikolog.
"Yang lain rata-rata biasa. Karyawan Ibu tidak ada yang menonjol di kecerdasan, kecuali yang saya sebut tadi. Tapi kebanyakan bertanggungjawab. Kalau Ibu mau rombak posisi, yang ini lebih bagus jadi bagian ini. Yang ini cocok untuk tugas seperti ini ... blabla ... dst."
Mereka ngobrol cukup lama, psikolog membeberkan "rahasia negara" dengan tenang meski aku berada di sana. Satu hal yang bisa kusimpulkan, ia mengira aku termasuk owner karena ruanganku terlihat eksklusif.
Psikolog itu tidak tahu, bahwa masih ada ruangan lain di belakang sana yang hanya berisi pendiri yayasan, yang aku pun jarang ke sana. Justru mereka yang sering main ke tempatku.
Jadi ketika dia mengobral obrolan dengan terang benderang, ia mengira tengah melaporkan hasil tes di hadapan dua orang bos.
Sepulangnya psikolog, seorang pendiri yayasan yang lain masuk ke ruanganku.
"Eh Tari tau dak, ternyata IQ Kakak yang paling tinggi di sini. Yang lain rata-rata semua!" bosku yang kedua itu tersenyum bangga.
Aku ngakak dalam hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI