Empat belas abad silam, dalam rentang tahun 600-an Masehi, Nabi Muhammad saw diberangkatkan dari Makkah ke Yerusalem. Kalau kita hidup di zaman itu, mungkin gak bakal percaya juga.
Gak logis! Jarak 1756 km ditempuh hanya semalam, mustahil! Kebayang, kalau kita saat itu sudah lahir dan berada di Mekah, mungkin nongkrongnya bareng Abu Jahal, Abu Lahab, dll. Kenapa? Ya karena logika.
Apalagi sebelum peristiwa Isra Mikraj terjadi, Nabi mengalami kesedihan bertubi-tubi. Ditinggal wafat orang-orang yang beliau cintai. Tentu banyak di antara "gank kita tadi" yang berprasangka bahwa Nabi sedang halu, saking stresnya.
Itu kedengaran lebih logis kan, daripada percaya seorang yang dulunya cuma gembala kok ngaku-ngaku ke Syam dalam semalam. Padahal sebelumnya dagang dari kampung ke tanah para nabi itu makan waktu bulanan juga.
Beda cerita kalau Isra Mikraj terjadi sekarang, gak perlu tebal-tebal iman, kita pasti percaya. Â Kabarnya jarak dua tempat itu lebih kurang sama dengan Jakarta-Surabaya. Itu kata si Syamil, temannya Dodo.
Artinya, kebenaran tetaplah kebenaran. Hanya masalah waktu yang membuat logika kita bisa menerimanya.
Pernah pula datang seseorang kepada Nabi, ia membawa tulang yang rapuh lalu meremasnya hingga bertaburan. "Muhammad," katanya, "apa iya Allah akan menghidupkan lagi tulang yang sudah hancur ini?"
Niatnya mengolok-olok, karena menurut logikanya, gak mungkin tulang yang sudah jadi serpihan bisa dibangkitkan kembali. Jadi yang sekarang gak percaya akhirat dan ngomong gitu, ketinggalan zaman!
Itulah sebab turunnya surah Yasin ayat 77-80. Pada ayat itu Allah membalas olok-olok dengan lebih elegan, "Lah, bikin elu kan bisa? Cuma dari mani, apalagi membangkitkan dari tulang!" itu kalimatku aja sih, gak boleh dipakai sembarangan.
Begitulah logika, dielu-elukan. Diberi akal untuk berpikir logis, tapi justru dibuat menentang aturan Allah dengan alasan tidak sesuai logika. Jadi "alat" yang dibuat untuk mudah menerima aturan, malah dijadikan senjata ketika aturan itu tidak cocok dengan alatnya.
Padahal kalau beneran mau logis, seharusnya alat tersebut yang menyesuaikan dengan ketentuan Sang Pembuat.
Begitu pula yang terjadi dengan aturan social distancing saat Corona merebak kala ini. Ketika diberlakukan pada salat Jumat, orang-orang langsung bereaksi. Iya, sudah banyak yang meng-counter kok. Artikel ini juga dibuat bukan untuk menambah pasukan MUI. Tapi lebih ke soal logika yang semula hanya dijunjung oleh para pemikir bablas. Sekarang diadopsi oleh kaum religius ngeselin.
Istilah "religius ngeselin" kudapat di berbagai meme yang beredar. Sedangkan ungkapan "larangan salat Jumat di masjid gak logis" kudapat di Twitter. Sayang, tak kusimpan. Kulewatkan begitu saja, tapi entah kenapa kalimat itu terus mengikuti. Seolah minta dituangkan ke tulisan. Alah, aku sok-sok dapat ilham aja.
Nah, lewat momentum Isra Mikraj ini. Yang biasanya kita kumpul-kumpul di masjid menyimak para ustaz bercerita tentang perjalanan Nabi ditemani Jibril. Mungkin dengan penerapan social distancing dan karantina pribadi, kita bisa lebih kreatif dengan menggali hikmah lain yang bisa diambil dari peristiwa tersebut.
Tapi menggalinya bukan dengan akal-akalan. Kalau yang dianggap gak logis lantas ditolak, maka agama akan terus disesuaikan dengan akal manusia yang terbatas. Harus ada dalil, dalilnya kuat gak, bukti kuatnya termuat di mana ... nah akalnya dipakai untuk mencerna semua itu.
Ribet kan? Makanya serahkan urusan itu pada ahlinya. Kalau kamu biasa bikin tempe, gak usah sotoy ngomentari tukang pempek soal takaran ikan dan micin. Tapi kalau biasa bikin gaduh, ya tugasnya sih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H