Begitu pula yang terjadi dengan aturan social distancing saat Corona merebak kala ini. Ketika diberlakukan pada salat Jumat, orang-orang langsung bereaksi. Iya, sudah banyak yang meng-counter kok. Artikel ini juga dibuat bukan untuk menambah pasukan MUI. Tapi lebih ke soal logika yang semula hanya dijunjung oleh para pemikir bablas. Sekarang diadopsi oleh kaum religius ngeselin.
Istilah "religius ngeselin" kudapat di berbagai meme yang beredar. Sedangkan ungkapan "larangan salat Jumat di masjid gak logis" kudapat di Twitter. Sayang, tak kusimpan. Kulewatkan begitu saja, tapi entah kenapa kalimat itu terus mengikuti. Seolah minta dituangkan ke tulisan. Alah, aku sok-sok dapat ilham aja.
Nah, lewat momentum Isra Mikraj ini. Yang biasanya kita kumpul-kumpul di masjid menyimak para ustaz bercerita tentang perjalanan Nabi ditemani Jibril. Mungkin dengan penerapan social distancing dan karantina pribadi, kita bisa lebih kreatif dengan menggali hikmah lain yang bisa diambil dari peristiwa tersebut.
Tapi menggalinya bukan dengan akal-akalan. Kalau yang dianggap gak logis lantas ditolak, maka agama akan terus disesuaikan dengan akal manusia yang terbatas. Harus ada dalil, dalilnya kuat gak, bukti kuatnya termuat di mana ... nah akalnya dipakai untuk mencerna semua itu.
Ribet kan? Makanya serahkan urusan itu pada ahlinya. Kalau kamu biasa bikin tempe, gak usah sotoy ngomentari tukang pempek soal takaran ikan dan micin. Tapi kalau biasa bikin gaduh, ya tugasnya sih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H