Tahun 2013, seorang kawan senior menelepon, "Rumah Tari di daerah ^&((*&*%* kan?"
Aku mengiyakan.
Ada surat dari pemerintah provinsi terkait lahan yang kami tempati. Singkat cerita, kujemput surat tersebut. Katanya semua warga diberitahu perihal berita ini, tapi tak sehelai pun sampai ke rumahku kecuali setelah surat itu kudapat lewat jalur yang bukan seharusnya (Lurah/RT).
Kawanku itu mantan anggota dewan, suaminya baru saja pindah tugas ke Setda Provinsi. Surat yang sampai padaku didapat dari kantor suaminya. Jadi, untuk yang kesekian kalinya pemerintah menegaskan bahwa tanah yang kami tempati adalah milik negara. Khusus untuk warga yang namanya tertulis dalam daftar, dapat membeli dari pemerintah dengan cara dicicil.
Daftar tersebut berisi nama-nama warga yang menandatangani kesepakatan dengan pihak agraria tahun 1996. Menurut hematku,angka yang tercantum pada SK Gubernur tersebut cukup murah untuk lokasi sestrategis itu.
Belum lagi cara diangsur lima tahun dan tanpa denda keterlambatan. Tapi kakak-kakakku hampir semua keberatan untuk membayar, sebab bukan kali ini saja ada tagihan perihal tanah.
Sudah sejak dulu ada yang bolak-balik suruh bayar tapi tak pernah terbit sertifikat. Aku tidak tahu di mana kelirunya atau siapa yang salah, sebab tahun 1996 aku masih kelas 6 SD. Cuma tahu jajan dan PR.
Mamakku bukan orang ngawur yang datang-datang bikin rumah. Beliau membeli 3,5 tombak dari seorang pegawai agraria yang mengaku sebagai pemilik tanah itu. Karena orang lain berhasil mendapat sertifikat setelah lunas, maka Mamak mengikuti jejak mereka.
Nahas, setelah lunas si penjual pensiun, sehingga ia tidak bisa lagi mencetak sertifikat palsu. Kukatakan palsu, karena setelah aku bolak-balik Setda dan BPN, seluruh tanah itu memang merupakan aset pemerintah provinsi. Kalaupun yang mereka punya disebut sertifikat, artinya ada sertifikat ganda di atas lahan yang sama.
Sia-sia bukti bayar yang kubawa ke sana kemari. Tidak pernah ada SK dari instansi pemerintah mana pun yang menyatakan pelepasan aset. Pokoknya Mamakku ditipu. Titik.
Akhirnya untuk mendapat sertifikat, harus dimulai dari awal lagi. Tapi proses itu tidak dimulai sampai 5 tahun kemudian, ketika seorang yang mengaku Satpol PP datang ke rumah mengantar  surat tagihan.
Ini Dia Biangnya!
Sambil mengantar surat, utusan pemprov ini menawarkan jasanya untuk mendaftarkan orang-orang di luar SK agar bisa ikut membeli. Aku pun diajak mendaftar, karena nama yang tercantum adalah nama Mamak. Dan itu keliru beberapa huruf.
Sebenarnya fokusku adalah menyelamatkan hak Mamak, tapi bimbang karena namanya yang kurang tepat. Mungkin inilah sebab SK itu tak sampai ke rumah kami. Nah ketika orang-orang mulai sepi, sang utusan berbisik, "Bayar 350 ribu untuk membuat gambar sketsa."
Ia perlihatkan sekumpulan foto kopi KTP orang-orang yang ikut mendaftar. Kuhitung-hitung lebih sepuluh orang. Tapi aku tidak ikut membayar. Kubilang suami sedang tidak di rumah, dan ia memaksa menunggu. Makin ketahuanlah akal bulusnya.
Kutelepon suami temanku yang di Setda, benarkah orang di luar SK bisa mendaftar? Apa benar harus bayar untuk gambar sketsa?
"Jangan bayar! Dia memang tukang palak warga sipil. Ke kantor saja biar jelas." Lebih kurang begitu jawabannya.
Untuk mempertegas SK dan nama-nama yang terdaftar, aku datang ke kantor lurah. Kali ini sepertinya bukan berita simpang siur. Lima tahun lalu diberi kabar, sekarang ditagih untuk pelunasan. Artinya surat ini benar.
Tiba di Kelurahan, seorang pegawai mengeluarkan kwitansi. "Mau bayar tanah ya?"
What, bayar tanah ke kelurahan? Memangnya beli buat uruk eek kucing!
Tahulah aku kenapa kakak-kakak dan masyarakat sekitar tak ada yang peduli pada SK Gubernur yang menurutku luar biasa penting. Mereka juga tak mau membayar karena berulang kali dikerjai oknum-oknum tak punya hati.
Butuh 2 Tahun Lebih, Bukan 3 Bulan
April 2018 adalah tenggat waktu kami untuk melunasi tanah tersebut. Hanya aku dan dua tetangga yang memenuhi imbauan pemerintah. Lapor ke Setda, bayar sekian ratus juta ke kas negara lewat salah satu bank pemerintah. Kemudian menunggu proses berikutnya.
Yang paling menyebalkan adalah keluar masuk kantor lurah dan camat yang harus siap upah ketik. Barangkali sekarang mereka mengenalku sebagai orang pelit yang tak mau membayar "jasa" mereka. Emangnya gaji bulanan itu upah ngobrol?
Untung aku menua di zaman media sosial. Nomor pengaduan sudah gak mempan, mending main DM atua mention jika merasa pelayanan tak sesuai harapan.
Suatu kali, aku menonton berita. Pak Presiden menyebut pembuatan sertifikat hanya memakan waktu sekira tiga bulan. Tapi kucari-cari jejak digitalnya saat menulis artikel ini, tidak ditemukan.
Dari berbagai artikel terkait masa pembuatan sertifikat tanah, di halaman pertama rata-rata menyebut dibutuhkan waktu hanya 45-120 hari saja. Okelah, kasusku mungkin pengecualian yang sangat spesial.
Bahkan ketika berkas tuntas di Setda dan dibawa ke BPN, itu sudah memakan waktu satu tahun. Kali ke sekian bertandang ke BPN, saat itu Presiden sedang ke daerah. Seorang ibu marah-marah karena urusannya tak juga beres.
Ia mengancam akan mengirim surat ke Jokowi untuk mengadukan masalah itu. Aku ikut menunggu balasan suratnya.
Tiap kali datang ke BPN, hampir selalu ada drama. Misalnya orang-orang yang mencari juru ukur, yang ditunggu berbulan-bulan tak juga datang ke lokasi. Atau peta manual tak sesuai dengan peta digital, atau orang-orang yang berseteru karena sama-sama mengklaim sepetak tanah, dan masih banyak lagi.
Akhirnya 11 Maret 2020, terbitlah sertifikat yang didamba Mamak sejak puluhan tahun lalu. Dilihat dari awal chat-ku dengan salah seorang pegawai Setda, total hampir 3 tahun aku mengurus sertifikat tanah Mamak.
Pengalaman paling berkesan selama proses yang panjang itu, adalah ketika tiba di BPN dan suasana sedang kisruh. Seorang pegawai, dalam rangka menenangkan masyarakat mengatakan, "Semua berkas kami undur prosesnyo. Lagi ngejar pesanan Jokowi bikin sertifikat di daerah. Tigo bulan harus selesai!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H