Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelecehan Seksual di Sekolah Sudah Ada Sejak Dulu

25 Februari 2020   12:50 Diperbarui: 25 Februari 2020   12:49 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku sampai bingung, akan ke mana fokus cerita kali ini. Tapi ini bukan cerita buah imajinasi, melainkan sari memori yang masih bisa kuperas dari kenangan di masa-masa reformasi.

Ketika Jakarta ramai dengan keriuhan demo mahasiswa, di Jambi relatif tenang. Aku hanya siswa SMP yang baru saja pindah dari daerah. Waktu aku tamat SD, semua kakakku sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sampai mereka lupa adiknya harus didaftarkan ke SMP.

Karena terlambat, akhirnya aku ikut kakakku yang mengajar di daerah. Jadi murid istimewa karena adik dari guru yang sekaligus pegawai TU. Padahal gak ada yang spesial, kan? Namanya orang kota ke desa, rada sombong.

Tahun berikutnya, aku dipindahkan lagi ke SMP di kota. Alasan kakakku, kalau kelamaan di daerah, nanti tidak bisa bersaing dengan anak kota. Fasilitas kurang memadai, dll. Aku manut saja, yang penting duit jajan lancar.

Akhirnya aku masuk ke salah satu SMP swasta, yang bisa dibilang, penampungan akhir anak-anak level bawah. Level bawah dalam hal apa saja. Ekonomi, akademis, sampai soal fisik. Istilah jahatnya, anak buangan.

Ketika aku menceritakan pengalaman di sekolah ini, pada jenjang SMA dan seterusnya, hampir pasti orang akan terlongo. Separah itu?

Sumpah, cukup menyakitkan aku menulis alinea di bawah ini. Tapi sejak dulu memori itu terekam kuat di kepalaku. Agak sesak mengenangnya. Dengan ini orang mungkin tahu, pelecehan seksual di sekolah sudah ada sejak dulu.

Kelas kami terletak di lantai paling bawah. Bahkan terpisah dari gedung lain. Di sebelah kami pohon-pohon durian menjulang, sebelah lagi industri pertukangan yang suara mesin pemotong kayunya masih terkenang di kepalaku.

Jika terjadi keributan, kepala sekolah maupun yayasan tak akan mendengar. Sebab kantor mereka berada jauh di atas. Di lantai tertinggi gedung lain. Kelas 2A dan 2B adalah lokasi ternyaman untuk berbuat rusuh.

Kebiasaan teman-teman baruku. Jika guru yang mengajar telah keluar, mereka akan ikut keluar. Atau tetap di dalam tapi tidak mengerjakan tugas sebagaimana yang diperintahkan.

Suatu hari ketika aku sedang asyik mengerjakan latihan, beberapa anak laki-laki cekikikan di depan kelas sambil berjongkok. Kudengar dari ocehan anak perempuan dan balas membalas komentar, ternyata anak-anak yang di depan itu sengaja merunduk untuk melihat isi rok anak-anak perempuan.

Aku cukup shock, di daerah tidak begini tingkah teman kelasku. Tapi sebagai anak baru, pura-pura tak tahu adalah yang terbaik. Rapikan saja posisi duduk, dan teruslah menulis.

Tak lama, keriuhan lebih besar terdengar. Hampir separuh siswa laki-laki di kelas itu menumpuk di sudut. Kupikir hanya aku anak perempuan di dalam. Agak aneh juga, bukannya perempuan itu seharusnya lebih kalem. Kok teman-temanku pada kabur keluar?

Aku yakin itu bukan jam istirahat. Dan benar saja, sebentar kemudian anak-anak yang tadi di luar, tiba-tiba berlarian masuk.

Yang lebih aneh, dari tumpukan anak laki-laki di sudut dinding tadi, ternyata ada dua anak perempuan. Kuketahui setelah kerumunan itu terurai, sebab guru mata pelajaran berikutnya sudah datang.

Dua anak itu membekap dada, seperti sedang melindungi diri. Aku betul-betul tidak paham apa yang terjadi. Tapi hari-hari berikutnya, kejadian itu terus berulang, dan akhirnya membuat aku paham.

Bodohnya aku waktu itu, tidak melakukan apa-apa. Salah satu sebabnya, menurut beberapa teman perempuan, hal itu sudah biasa. Alhamdulillah aku tidak pernah jadi korban. Biarlah berkelahi mati-matian daripada dadamu dipegang laki-laki satu kelas. Mampus!

Syukurnya lagi, pada ujung-ujung masa kelas 2, akhirnya ada guru yang menyadari kejadian itu. Terjadi sidang besar-besaran. Wali kelas sampai meninju meja saking beliau malu. Wajahnya merah padam, begitulah ekspresi orang baik yang terlalu marah. Sebelumnya beliau tidak pernah semarah itu pada siswanya. Alhasil, seluruh siswa laki-laki di kelas itu mendapat hadiah pecut di tangan.

Selesai? Tidak.

Naik kelas 3, dalam sebuah acara kamping di sekolah. Ketika kami berbaris di tengah malam, temanku berbisik-bisik. "Si M di atas samo R."

Kebiasaan buruk kami adalah tidak suka mengadu. Dulu itu dianggap sebagai bentuk setia kawan. Walau hatiku tidak setuju mereka berdua-duaan di ruang gelap, tapi tidak ada yang kami lakukan.

Kami berbaris, menyanyi, dan melakukan macam-macam kegiatan khas pramuka. Tidak ada yang ingat M ada di atas. Sampai ketika waktunya istirahat, baru kami naik, dan M justru tidak ada di sana.

Sebelum tidur, terdengarlah cerita. M ternyata bukan berduaan dengan R. Ia sedang tidur, lalu R datang dan meraba-raba tubuhnya. Gilanya waktu itu, kami mendengar cerita itu dengan tenang. M memang terkenal centil, malah ada yang berprasangka ia pura-pura tak merasa. Ah entahlah.

Masih banyak stok kenangan kegilaan di sekolah itu. Aku dua tahun berada di sana. Banyak kenangan indahnya, tapi yang buruk lebih memilukan dari pengalaman teman-temanku di sekolah lain.

Ada trio cewek populer yang setiap Senin memakai plester di lehernya, yang ketika kutanya hanya cekikikan. Pertanyaan lugu milikku, "Kenapa setiap hari Minggu leher kalian luka?" baru terjawab bertahun-tahun kemudian.

Ada pula anak polisi yang menganggap seluruh makhluk di sekolah adalah hambanya. Ia punya hobi memanjangkan kuku, lalu dibuat runcing ujungnya. Jika menginginkan sesuatu dan tidak mendapatkannya, barang yang ia mau harus rusak. Aku bangga pernah membuat hidungnya berdarah. Tidak ada hak seorang polisi di atas kepalaku.

Setelah dewasa, aku coba menganalisis berbagai kejadian yang kualami saat di SMP dulu. Apa karena kondisi ekonomi-sosial kami, sehingga hal tersebut terjadi? Pubertas? Karena sekolah terlalu abai? Orangtua tidak mengajarkan pendidikan seks dan mempertahankan harga diri? Atau ada faktor lain?

Sebab di SMA, dengan kondisi siswa yang jauh berbanding terbalik dengan SMP, hal itu tidak sekali pun terjadi. 

Belum ada poin utama yang bisa kusimpulkan. Untuk sementara, aku hanya bisa menjauhkan anakku dari sekolah yang nampaknya sejenis dengan SMP-ku dulu. Tidak bermaksud mengecilkan lembaga itu, hanya mengantisipasi karena tak mampu berbuat banyak.

Adakah yang punya pengalaman serupa denganku? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun