Sebelum tidur, terdengarlah cerita. M ternyata bukan berduaan dengan R. Ia sedang tidur, lalu R datang dan meraba-raba tubuhnya. Gilanya waktu itu, kami mendengar cerita itu dengan tenang. M memang terkenal centil, malah ada yang berprasangka ia pura-pura tak merasa. Ah entahlah.
Masih banyak stok kenangan kegilaan di sekolah itu. Aku dua tahun berada di sana. Banyak kenangan indahnya, tapi yang buruk lebih memilukan dari pengalaman teman-temanku di sekolah lain.
Ada trio cewek populer yang setiap Senin memakai plester di lehernya, yang ketika kutanya hanya cekikikan. Pertanyaan lugu milikku, "Kenapa setiap hari Minggu leher kalian luka?" baru terjawab bertahun-tahun kemudian.
Ada pula anak polisi yang menganggap seluruh makhluk di sekolah adalah hambanya. Ia punya hobi memanjangkan kuku, lalu dibuat runcing ujungnya. Jika menginginkan sesuatu dan tidak mendapatkannya, barang yang ia mau harus rusak. Aku bangga pernah membuat hidungnya berdarah. Tidak ada hak seorang polisi di atas kepalaku.
Setelah dewasa, aku coba menganalisis berbagai kejadian yang kualami saat di SMP dulu. Apa karena kondisi ekonomi-sosial kami, sehingga hal tersebut terjadi? Pubertas? Karena sekolah terlalu abai? Orangtua tidak mengajarkan pendidikan seks dan mempertahankan harga diri? Atau ada faktor lain?
Sebab di SMA, dengan kondisi siswa yang jauh berbanding terbalik dengan SMP, hal itu tidak sekali pun terjadi.Â
Belum ada poin utama yang bisa kusimpulkan. Untuk sementara, aku hanya bisa menjauhkan anakku dari sekolah yang nampaknya sejenis dengan SMP-ku dulu. Tidak bermaksud mengecilkan lembaga itu, hanya mengantisipasi karena tak mampu berbuat banyak.
Adakah yang punya pengalaman serupa denganku?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H