Sejak menikah, aku belum pernah masak jengkol. Sebelumnya juga ding! Tapi makan jengkol sekarang seperti hal tabu, setelah suamiku memfatwaharamkan makanan enak itu di rumah kami.
Alasannya, beliau dilarang oleh guru ngajinya zaman kecil dulu. Menurut sang guru, jengkol bisa merusak suara. Membuatnya kesusahan mengatur napas saat mengaji.
Aku justru tertawa mendengar penjelasan lugu si bapak. "Abi dikolahi Nyai," kataku. "Nyai tu dak tahan dengan bau mulut kalian kalo belajar ngaji abis makan jengkol!"
Baru suamiku termenung sebentar. Tapi bahwa jengkol jangan ada di rumah, itu sudah jadi aturan baku. Untung masih ada rumah Mamak untuk sekali-kali aku temu kangen dengan keping lezat itu.
Tak hanya suamiku, Karel Heyne, ahli botani Belanda, dalam bukunya De nuttige palnten van Nederlandsch Indie yang terbit tahun 1913, juga menyebut jengkol 'berbau busuk'. "Biji disenangi oleh penduduk tetapi tidak oleh orang Eropa," tulisnya saat membahas jengkol di Hindia Belanda.
Kalau saja pendahulu kita sudah membaca buku ini sejak terbitnya, barangkali jengkol bisa dijadikan senjata untuk mengusir penjajah.
Iseng-iseng kuketik kata kunci di kolom pencarian Google, "Indonesia ekspor jengkol". Ternyata ada!
Dikutip dari kumparan.com (26/2/19), tiap pekan jengkol dan petai dikirim ke Arab Saudi sebanyak 600-900kg. Bahkan jengkol termasuk dalam 10 komoditas unggulan bersama sarang burung walet, petai, jeruk purut, manggis, rambutan, telur tetas, reptil, vaksin, dan ubi cilembu.
Tak masalah Eropa menganggap remeh jengkol, toh di Arab mereka laku keras. Walaupun yang makan mungkin orang Indonesia di perantauan.
Jangan hanya melihat dari sisi aroma. Faktanya jengkol juga mengandung nutrisi yang baik untuk tubuh.
Dalam 100 gram jengkol, terdapat 23,3 gram protein. Angka ini jauh lebih tinggi daripada protein tempe. Jengkol juga mengandung fosfor sebanyak 166,7 mg per 100 gram-nya (halodoc.com).
Tak sampai di situ, mengutip kompas.com (22/2/20), berbagai vitamin, zat besi, kalsium, dan serat juga terkandung dalam jengkol. Tak heran, jengkol diyakini mampu memberi manfaat di antaranya mencegah serangan jantung, menjaga gula darah, meningkatkan stamina, dan baik untuk janin.
Berbagai sisi positif jengkol di atas pasti membuat para penikmat jengkol bersorak. Tapi jangan girang dulu! Selain efek aromanya yang bikin rusak mood orang lain, jengkol masih punya beberapa efek buruk terutama yang berkaitan dengan asam jengkolat.
Makan jengkol berlebihan dapat mengakibatkan keracunan, yang oleh sebagian orang, disebut jengkolan. Gejalanya sakit pinggang, perut terasa melilit, hingga susah buang air besar.
Kondisi ini jika terus terjadi dapat menyebabkan kencing batu, bahkan penyakit batu ginjal. Apa pun sih ya, kalau berlebihan memang tidak baik.
Tapi meski hanya makan sebelah keping jengkol, sebaiknya tidak buang air kecil ataupun besar di toilet umum. Biar gak zalim dan bikin fitnah. Seperti pengalamanku beberapa tahun silam.
Masuk waktu zuhur, aku menuju Rumah Balita tempatku menitipkan anak. Numpang salat di sana.
Tidak ada tempat wudu khusus, hanya 4 kamar mandi yang biasa digunakan sesuai kebutuhan. Nahasnya, hari itu keempatnya penuh. Ketika seorang wali murid keluar dari salah satu kamar mandi, aku segera masuk menggantikannya.
Tiba di dalam, hatiku ngedumel. Jelas-jelas kamar mandi yang ini tak ada klosetnya. Hanya digunakan oleh pengasuh anak untuk mencuci, memandikan anak, dan wudu. Tapi aroma limbah jengkol memenuhi ruang, berarti ibu yang barusan keluar buang air kecil di sini.
Tahan-tahan hidung, kusiram seluruh ruang. Lalu wudu dengan masih mengatur napas jangan sampai tercium aroma yang memang sulit sekali dihilangkan itu.
Usai wudu, ya salat. Seorang pengasuh sepertinya masuk ke kamar mandi itu kemudian. "Wai, Bu Tari abis makan jengkol!" teriaknya dari kamar mandi. Dan aku sudah menyelesaikan rakaat pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H