Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Lika-liku Cerpen Laki-Laki

16 Februari 2020   10:48 Diperbarui: 16 Februari 2020   10:46 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pangeran dengan dua bekas sujud--dokpri

Selang beberapa hari setelah kumcer pribadiku, Pangeran dengan Dua Bekas Sujud, diluncurkan, seorang kawan bertanya, "Kenapa kebanyakan tokoh cerpennya laki-laki?"

Ya ampun, aku pun baru menyadarinya!

Maksudku, baru menyadari kalau yang kubukukan itu kebanyakan yang tokohnya laki-laki. Tapi memilih jadi laki-laki pada cerpen, aku punya alasan tersendiri.

Permasalahan yang sering menerpa penulis cerpen adalah sulit melepaskan diri antara tokoh dan penulis. Jadi ketika bercerita, seolah sedang menceritakan diri sendiri. Dan ketika orang membaca, seperti sedang menyimak kita bertutur, tentang diri kita sendiri.

Bahwa kisah itu memang milik pribadi, tak masalah. Malah bagus, karena lebih dekat. Tapi ketika pembaca melihat itu seperti kisah nyata pribadi, kok rasa cerpennya jadi hambar. Sebab cerpen tidak seru kalau biasa-biasa saja, butuh dramatisasi. Kalau kisah kita tak dramatis apa menariknya dibagikanke orang lain? Itu pendapatku pribadi.

Ditambah kurang pahamnya orang tentang apa itu cerpen, membuat kita terpaksa harus hati-hati. Bagi yang biasa membaca, remeh sekali ada orang tidak paham cerpen. Tapi itu nyata.

Pernah suatu kali, cerpenku dimuat di sebuah laman. Bercerita tentang perjodohan yang gagal. Dari posisi kategori sampai struktur tulisan, jelas menunjukkan bahwa itu adalah karya fiksi. Cerita pendek.

Tapi komentar yang awal-awal muncul, bikin ketawa dan jengkel sekaligus. Para pengguna Facebook berdebat di kolom komentar seolah-olah cerita itu nyata terjadi. Selain tak punya akun Facebook (syarat untuk berkomentar waktu itu), aku juga bingung, kenapa mereka bisa seawam itu soal sastra. Bukankah cerpen sudah kita pelajari sejak di SD?

Begitulah. Akhirnya aku lebih sering menjadi laki-laki agar orang tidak otomatis menyangka, akulah tokoh dalam cerpen itu. Atau kusiasati dengan mengganti sudut pandang tokoh jadi orang ketiga, dan yang ini pun sering kali gagal.

Tapi aku tak melulu menyalahkan pembaca. Bisa jadi memang aku yang tak mahir mengolah kata menggarap cerita. Buruk rupa kok cermin dibelah, pakai skincare lah!

Sebesar apa pun upaya melepaskan diri dari tokoh, sebenarnya karakter penulis tetap dapat terbaca dari karya-karyanya. Tapi membaca karakter ini, tidak boleh sembarang orang, karena bisa balik lagi ke prasangka yang tidak tepat.

Jujur, karena banyak pertimbangan (yang sebenarnya gak penting), membuatku masih sungkan menulis yang lebih liar. Padahal aku punya ide menulis cerita tentang lesbian, psikopat, dll.

Apakah menulis itu prosesnya tinggal tulis? No. Harus riset dulu. Minimal ada referensi yang menguatkan kenapa begini kenapa begitu. Tidak boleh asal.

Nah, orang-orang yang tak paham proses ini, malah berpikir penulis punya pengalaman, makanya tahu betul. Begitu kan?

Gara-gara upaya melepaskan diri dari tokoh cerpen, aku bahkan galau saat memposting cerpen ini. Khawatir dikira pengalaman orang terdekatku. Padahal itu hanya hasil obrolan dengan seseorang tentang betapa luasnya hati laki-laki (kata dia). Dikit-dikit naksir, dikit-dikit suka. Dengan dalih simpel, namanya juga laki-laki!

Ternyata, bukan di dunia nyata saja kita bisa pusing dengan komentar orang lain. Di dunia fiksi pun begitu, butuh tangkal baper.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun