Jujur, karena banyak pertimbangan (yang sebenarnya gak penting), membuatku masih sungkan menulis yang lebih liar. Padahal aku punya ide menulis cerita tentang lesbian, psikopat, dll.
Apakah menulis itu prosesnya tinggal tulis? No. Harus riset dulu. Minimal ada referensi yang menguatkan kenapa begini kenapa begitu. Tidak boleh asal.
Nah, orang-orang yang tak paham proses ini, malah berpikir penulis punya pengalaman, makanya tahu betul. Begitu kan?
Gara-gara upaya melepaskan diri dari tokoh cerpen, aku bahkan galau saat memposting cerpen ini. Khawatir dikira pengalaman orang terdekatku. Padahal itu hanya hasil obrolan dengan seseorang tentang betapa luasnya hati laki-laki (kata dia). Dikit-dikit naksir, dikit-dikit suka. Dengan dalih simpel, namanya juga laki-laki!
Ternyata, bukan di dunia nyata saja kita bisa pusing dengan komentar orang lain. Di dunia fiksi pun begitu, butuh tangkal baper.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H