"Sudah tahu ditutup, masih jugo makso lewat. Repot dewek, kan!" Seorang bapak merutuki pengendara mobil yang terpaksa balik arah karena jembatan yang hendak dilaluinya sedang dibongkar.
"Jembatan ngapo-ngapo idak dibongkar, cari gawe bae!" balas si pengendara, entah pada siapa.
Aku berada di posisi penonton.
Aku dan anak-anak menyebut jembatan itu dengan sebutan "Jembatan Sampah", karena lokasinya dekat dengan pembuangan sampah. Panjangnya area pembuangan sampah melebihi panjang jembatan. Aku dan anak-anak punya kemampuan menahan napas lebih lama berkat jalur sampah yang panjang itu.
Setiap pagi dan siang kami melewatinya, kecuali saat dibongkar yang memakan waktu berbulan-bulan lalu. Sebab jalur alternatif buatan kontraktor berupa jembatan kayu, yang tak jarang pengendara dari jalur berlawanan tak mau mengalah. Jembatan sempit yang seharusnya dilewati sepeda motor satu per satu, malah jadi dua jalur berlawanan.
Daripada ambil risiko mengorbankan anak-anak, lebih baik lewat jalur memutar. Minim keributan.
Setelah dibongkar dan diperbesar, baru kutahu. Nama jembatan itu adalah Jembatan Walisongo. Baru tahu beberapa hari, oleh wali kota diganti jadi Jembatan Wali Kota.
Apa pun namanya, aku akan tetap menyebutnya Jembatan Sampah.