Menurut teori kakakku, jalan yang ada di antara rumah-rumah orang kaya, pasti rusak. Berbeda dengan jalan setapak atau jalanan kampung yang melintasi rumah-rumah penduduk menengah ke bawah. Umumnya lebih ramah anak-anak dan cukup nyaman untuk dilalui.
Dia menyampaikan teorinya dulu sekali, kalau tidak salah aku masih SMP. Dan teori itu aku amini setelah belasan tahun melewati jalan aspal yang melintasi rumah kawanku semasa SMA.
Agak gila sih, kadang aku lewat hanya untuk membuktikan teori itu. Jalanan di sebelah Pemancar TVRI, di tengah kota. Sejak tahun 2000 aku sering ke sana, terakhir kulihat masih hancur lebur tahun 2017. Sampai di tahun 2019 lalu, setelah anakku masuk ke sekolah yang tak jauh dari tempat itu, barulah aspalnya mulus. Apakah mereka sengaja menyambut anakku? Itu lebih gila lagi.
Tapi perkara jalan ini bukan saja membenarkan teori kakakku. Aku punya teori sendiri. Jalan di tengah kota, menanjak curam, penuh lubang, malah ditambah lagi polisi tidur (benar-benar tak habis pikir!) tetap saja dilalui orang.
Kakakku yang lain lagi tinggal di Kabupaten Tanjabtim (Tanjung Jabung Timur). Menurut Google Maps, dari kota jaraknya sekira 80-an Km. Bertahun-tahun pula jalannya rusak, tapi kita semua maklum, jauh dari pusat kota. Siapa yang lewat situ?
Tapi kami takjub saat liburan kemarin, perjalanan ke sana hanya memakan waktu tak sampai 3 jam, padahal dengan kecepatan sedang. Ternyata jalanan sudah jauh lebih baik, jembatan yang tadinya terbuat dari kayu layaknya ajang uji nyali, sekarang sudah permanen.
Kakakku si pemilik teori "semua jalan di dekat rumah orang kaya rusak", memuji-muji pembangunan infrastruktur yang menurutnya luar biasa itu. Tak kupungkiri, aku pun menikmati.
Tapi aku punya ingatan yang cukup kuat tentang daerah ini. Aku masih punya rekaman di kepala tentang rumah-rumah yang dulu berdempetan. Pagi yang riuh, suasana akrab bertetangga khas desa, intinya adalah keramaian suatu daerah yang dipenuhi penduduk asli dan perantau. Suasana yang hidup!
Sejak kakakku menikah dengan pemuda sana, aku sering bertandang ke tempat itu. Nyaris setiap liburan. Terakhir, sebelum kedatangan terbaru beberapa hari lalu, aku bertandang kisaran tahun 2011 atau 2012, yang akhirnya menghasilkan cerpen ini.
Betapa kehidupan di sana seolah mati. Sejak pabrik-pabrik gulung tikar, penduduknya seperti kehilangan lumbung. Rawa gambut yang mereka pijak tak bisa menghidupi mereka. Hanya penduduk asli yang lebih mengenal tanah itu, hingga mampu bertahan dengan menanam berbagai tanaman yang sekiranya dapat memberi mereka penghasilan.
Selain penduduk asli yang hidup dari berladang, sisanya adalah ASN yang harus menerima nasib ditempatkan di wilayah sunyi itu. Para pendatang? Kabur!
Maka ketika kakakku memuji jembatan dan jalan beton, aku justru melihat tempat ini bahkan jauh lebih sepi dari tujuh atau delapan tahun lalu. Padahal di tahun itu pun, sudah banyak kulihat rumah-rumah kosong yang ditinggal oleh penghuninya.
Anehnya lagi. Jumlah penduduk yang menurun drastis tidak serta merta mengembalikan alam pada keasriannya. Tumbuhan memang subur, sama seperti dulu. Tapi parit-parit di depan dan belakang rumah yang biasanya bisa digunakan untuk kerambah, atau airnya untuk mandi, sekarang sudah tak layak sama sekali.
Aku jadi teringat salah satu artikel utama di Kompasiana beberapa pekan lalu, tentang infrastruktur di Papua. Ibarat sakitnya apa, obatnya apa.
Kalau Papua butuh guru dan dokter, Tanjabtim butuh penghidupan. Infrastruktur hanya akan dimakan lumut tanpa manusia yang memanfaatkannya. Bangun monas di sini pun tak akan menghidupkan ekonomi warga. Karena mereka masih punya tangan dan parang untuk membuka jalan. Akal mereka mampu menghasilkan kendaraaan untuk melintasi parit-parit yang memisah satu daerah ke daerah lain. Tapi mereka tak berkuasa untuk membuat kebijakan, sehingga tak mampu meningkatkan taraf hidup.
Jangan, jangan kasih solusi investasi! Biarlah kampung-kampung mereka kembali menjadi hutan, daripada jadi perkampungan asing yang penduduk aslinya berbalik menjadi pendatang. Mengelu-elukan infrastruktur, kemudian bengong, ternyata dibuat bukan untuk mereka. Ah entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H