Selain penduduk asli yang hidup dari berladang, sisanya adalah ASN yang harus menerima nasib ditempatkan di wilayah sunyi itu. Para pendatang? Kabur!
Maka ketika kakakku memuji jembatan dan jalan beton, aku justru melihat tempat ini bahkan jauh lebih sepi dari tujuh atau delapan tahun lalu. Padahal di tahun itu pun, sudah banyak kulihat rumah-rumah kosong yang ditinggal oleh penghuninya.
Anehnya lagi. Jumlah penduduk yang menurun drastis tidak serta merta mengembalikan alam pada keasriannya. Tumbuhan memang subur, sama seperti dulu. Tapi parit-parit di depan dan belakang rumah yang biasanya bisa digunakan untuk kerambah, atau airnya untuk mandi, sekarang sudah tak layak sama sekali.
Aku jadi teringat salah satu artikel utama di Kompasiana beberapa pekan lalu, tentang infrastruktur di Papua. Ibarat sakitnya apa, obatnya apa.
Kalau Papua butuh guru dan dokter, Tanjabtim butuh penghidupan. Infrastruktur hanya akan dimakan lumut tanpa manusia yang memanfaatkannya. Bangun monas di sini pun tak akan menghidupkan ekonomi warga. Karena mereka masih punya tangan dan parang untuk membuka jalan. Akal mereka mampu menghasilkan kendaraaan untuk melintasi parit-parit yang memisah satu daerah ke daerah lain. Tapi mereka tak berkuasa untuk membuat kebijakan, sehingga tak mampu meningkatkan taraf hidup.
Jangan, jangan kasih solusi investasi! Biarlah kampung-kampung mereka kembali menjadi hutan, daripada jadi perkampungan asing yang penduduk aslinya berbalik menjadi pendatang. Mengelu-elukan infrastruktur, kemudian bengong, ternyata dibuat bukan untuk mereka. Ah entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H