Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apakah Hijrah Harus Selalu Berarti Menikah?

5 November 2019   09:20 Diperbarui: 5 November 2019   16:52 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan. (Shutterstock)

Seorang kakak senior pernah cerita: dulu, di kelompok pengajiannya, setiap anggota selalu ditekankan agar berbusana rapi dan bersih. Pilih warna yang tidak mencolok, agar kehadiran kita tidak menjadi bahan perhatian.

"Kalau anak sekolah per dua bahkan ada yang empat hari baru ganti seragam, kami setiap pulang sekolah mencuci yang kotor atau setrika ulang yang tadi kusut karena terpakai. Jadi muslim harus bersih! Biar orang punya stigma yang baik tentang kita.

Bertingkah yang sopan, tenang kalau didebat. Sabar menghadapi orang-orang yang memotong antrean, tapi pertahankan diri kalau ada yang zalim. Beda dengan sekarang ...."

Lebih-kurang begitu ceritanya.

Mungkin karena kemajuan teknologi yang seolah tak terbendung, sejak penggunaan ponsel pintar di berbagai kalangan, makin banyak pergeseran terjadi. Termasuk dengan istilah "hijrah" yang belakangan jadi fenomena yang fenomenal.

Tahun 90-an, aku pribadi hanya mengenal istilah Hijrah sebagai peristiwa pindahnya Nabi Muhammad saw bersama sahabat beliau dari Mekah ke Madinah. Awal 2000-an, baru ramai istilah hijrah untuk yang mulai mengubah pola pikir dan karakter menjadi lebih islami (walaupun mungkin istilah itu sudah bisa dipakai bahkan sejak zaman Nabi. Tapi aku mengenalnya di tahun-tahun ini).

Menuju 2020, ada perubahan yang menurutku begitu signifikan. Orang yang membahas hijrah, hampir tidak pernah melewatkan untuk juga membahas nikah. Padahal apa hubungannya? 

Seperti cerita seniorku di awal. Mereka berusaha memperbaiki salah paham di kalangan jilbaber masa itu, di mana kebanyakan mereka menganggap sederhana sama dengan ala kadarnya. Jilbab satu dipakai berulang-ulang hingga apek, sehingga makin bertambah hari semakin tak rapi pula penampilannya. Kebiasaan itu diubah agar kembali ke nilai Islam yang sesungguhnya.

Sepertinya pahlawan semodel seniorku dibutuhkan lagi untuk meluruskan yang agak melenceng hari ini, di mana bicara hijrah hampir dipastikan sama dengan bicara nikah. Bahkan meskipun yang baru hijrah itu sudah menikah. Rada konyol memang.

islampos.com
islampos.com
Layangan Putus

Meski tulisan ini tidak ada hubungan langsung dengan kisah viral Layangan Putus, jujur saja aku kembali teringat untuk membahasnya setelah kasus tersebut jadi trending di Twitter semalam.

Kulihat di berbagai media sosial, pembahasan tentang tren hijrah anak muda tak pernah lepas dari provokasi menikah. Nikah itu separuh agama, menikahlah agar dicukupkan Allah, dst dengan dalil yang lebih banyak disitir sesuai keinginan pemilik akun.

Mereka mengangkat kisah romantisnya Nabi saw dengan Aisyah, tentang Umar yang bersabar terhadap omelan istrinya, atau Ali dan Fatimah yang saling naksir tapi tidak ketahuan siapa pun, bahkan Iblis. Semua yang dibahas hanya yang serbaindah. Seolah nikah itu ajang senang-senang tanpa masalah. Padahal dinamika pernikahan bisa mereka pelajari dari orang tua, orang terdekat yang mungkin dianggap tak berilmu, tapi jelas berpengalaman.

Dan jadilah, mengaji baru dua bulan, semangat nikahnya sudah di ubun-ubun. Ada yang beramal tanpa ilmu, ada yang berilmu tapi minim adab.

Menikah, realistis saja, butuh materi. Tapi materi yang dimaksud tak harus melimpah. Tidak sedikit yang membahas rezeki pernikahan sebatas angan-angan. Semangat menikah muda, setelah menikah malah jadi beban orang tua.

Menikah butuh ilmu. Ini yang paling utama. Menikah hanya karena provokasi quotes dan foto-foto pasangan alay hanya akan menghasilkan pasangan penuntut. Yang satu menuntut lainnya sesuai dengan ekspektasinya sebelum menikah. Yang laki-laki mengira semua perempuan yang sudah hijrah itu lembut, kalem, sabar, keibuan, jago masak.

Yang perempuan mengira laki-laki yang sudah mengaji itu romantis, pengertian, sabar, penyayang, rajin, lembut. Jadilah mereka pasangan pengkhayal. Tidak realistis. Syukur kalau keduanya kemudian menyadari kekeliruan kemudian sama-sama belajar. Nyatanya tidak sedikit yang akhirnya kandas, bukan di tengah jalan, tapi saat baru saja melampaui garis start.

Kasus lainnya, mirip dengan kisah Layangan Putus, mereka yang mengaku hijrah kemudian "dapat hidayah" untuk menambah amal. Dari sekian banyak sunah Nabi yang belum terlaksana, mereka pilih poligami. Sungguh, ini adalah pelecehan terhadap syariat.

Kata Ustaz Khalid Basalamah dalam salah satu ceramah beliau, "Poligami itu ibarat buka cabang. Kalau satu saja belum sukses, kenapa buka yang baru?"

Begitu pula ketika Ustaz Adi Hidayat ditanya tentang poligami. Beliau menjawab, "Kalau satu amanah saja saya belum sempurna melaksanakannya, bagaimana saya bisa menambah amanah lagi?"

Iya, mereka manusia biasa. Suatu saat bisa berubah. Dua kalimat di atas bukan dalil. Kupakai semata-mata untuk pembaca mudah mencari mereka, bertanya, dsb. Kalau diberi judul kitab belum tentu dicari barangnya. Dikasih dalil belum tentu dicari sanad, asbabun nuzul, dll. Ya kan?

Jangan lagi pakai dalil untuk melegitimasi syahwat. Annisa ayat ketiga itu konteksnya membatasi, bukan disuruh nambah. Adakah kitab lain yang membatasi umatnya berapa perempuan yang boleh dinikahi? Coba baca sejarah, tidak ada raja yang hanya menikahi satu perempuan. Di seluruh dunia, raja-raja mengoleksi perempuan untuk dijadikan ratu, selir, dll.

Nabi Muhammad saw itu raja, tapi beliau hanya menikahi Khadijah. Satu tahun setelah Khadijah wafat, baru beliau menikah lagi atas perintah Allah. Tujuannya, agar perempuan bisa mempelajari, bagaimana menjadi istri yang baik sesuai karakternya. Seperti Zainab yang kalem? Aisyah yang lincah, atau Hafshah yang tegas?

Banyak sunah yang lebih mudah dikerjakan daripada poligami. Tahajud, Nabi saw melakukannya setiap malam. Puasa Senin dan Kamis, sudah? Rawatib rutin pernah? Main sama anak, jahit baju sendiri, .... Ah, mungkin mereka memang sudah melakukannya. Semoga.

Kalau tidak, dan rumah tangga berakhir tidak baik. Percayalah, efeknya bukan hanya bagi satu dua orang. Apalagi di zaman serbastatus ini. Apa-apa distatusin, dunia medsos itu kejam!

Satu rumah tangga muslim (yang nampaknya) taat berantakan, semua rumah tangga muslim jadi bahan pandangan orang. Satu perempuan bercadar jadi istri kedua, yang membuat istri pertama menderita, semua yang bercadar terfitnah. Kasihan kan?

Trauma di Masyarakat.

Karena kebiasaan kita yang tidak mencari tahu lebih jauh terhadap sesuatu (bukan sekadar kepo), membuat kita gampang menyimpulkan. Kita di sini adalah kebanyakan masyarakat Indonesia.

Alhasil, fenomena hijrah yang seharusnya menjadi berkah. Malah membuat sebagian masyarakat cemas. Ngaji? Nanti belum kerja malah melamar anak orang! (yang single). Jangan-jangan nanti nikah lagi! (yang double), padahal materi yang diberi di kajian adalah tentang kiamat, tentang azab kubur, adab mencari ilmu. Entah dari mana dapat bisikan kawin!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun