Nabi Muhammad saw itu raja, tapi beliau hanya menikahi Khadijah. Satu tahun setelah Khadijah wafat, baru beliau menikah lagi atas perintah Allah. Tujuannya, agar perempuan bisa mempelajari, bagaimana menjadi istri yang baik sesuai karakternya. Seperti Zainab yang kalem? Aisyah yang lincah, atau Hafshah yang tegas?
Banyak sunah yang lebih mudah dikerjakan daripada poligami. Tahajud, Nabi saw melakukannya setiap malam. Puasa Senin dan Kamis, sudah? Rawatib rutin pernah? Main sama anak, jahit baju sendiri, .... Ah, mungkin mereka memang sudah melakukannya. Semoga.
Kalau tidak, dan rumah tangga berakhir tidak baik. Percayalah, efeknya bukan hanya bagi satu dua orang. Apalagi di zaman serbastatus ini. Apa-apa distatusin, dunia medsos itu kejam!
Satu rumah tangga muslim (yang nampaknya) taat berantakan, semua rumah tangga muslim jadi bahan pandangan orang. Satu perempuan bercadar jadi istri kedua, yang membuat istri pertama menderita, semua yang bercadar terfitnah. Kasihan kan?
Trauma di Masyarakat.
Karena kebiasaan kita yang tidak mencari tahu lebih jauh terhadap sesuatu (bukan sekadar kepo), membuat kita gampang menyimpulkan. Kita di sini adalah kebanyakan masyarakat Indonesia.
Alhasil, fenomena hijrah yang seharusnya menjadi berkah. Malah membuat sebagian masyarakat cemas. Ngaji? Nanti belum kerja malah melamar anak orang! (yang single). Jangan-jangan nanti nikah lagi! (yang double), padahal materi yang diberi di kajian adalah tentang kiamat, tentang azab kubur, adab mencari ilmu. Entah dari mana dapat bisikan kawin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H