Malang betul nasib Pak Makmuri. Di usianya yang sudah lebih dari 60 tahun, ia harus luntang-lantung hanya karena hal sepele. Rumah tangganya bubar hanya karena perbedaan pilihan pilpres. Makmuri dan dua anak perempuannya memilih Jokowi-Ma'ruf, sedangkan istri dan dua anak laki-lakinya memilih Prabowo-Sandi.
Makmuri adalah warga Desa Randudongkal, Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Ketika masa kampanye, ia nekat ke Jakarta untuk bergabung menjadi relawan Kubu 01.Â
Membawa sepeda dan menumpang bus, ia menyusuri Jakarta hingga tiba di kantor Tim Kampanye Nasional (TKN) yang berada di Gedung Proklamasi, Menteng, Jakarta.
Makmuri menitipkan sepedanya di kantor TKN selama mengikuti agenda kampanye yang padat. Perjuangannya memang membuah hasil, jagoan Makmuri memenangkan Pilpres 2019!
Tapi kemenangan TKN tak sebanding dengan pengorbanannya. Kini, setelah pilpres usai, Makmuri justru kebingungan dengan nasibnya. Ia belum pernah pulang ke Pemalang karena tak punya biaya. Nahasnya lagi, sepeda yang ia bawa dari kampung juga hilang. Tidak ada penghuni kantor TKN yang tahu di mana keberadaan harta satu-satunya itu.
Jadi teringat sebuah pesan di WAG yang selalu heboh dengan berita politik. Dari fakta yang dibumbui, sampai yang hoaks total, seliweran di grup ini.
Ketika tengah heboh pilpres, salah seorang mengirim semacam nasihat di WAG, yang (lebih kurang) isinya; "Apa yang akan terjadi setelah pilpres? Kalau Jokowi menang, ia akan dilantik dan melanjutkan tugas. Jika kalah, ia akan kembali mengurusi mebel dan bermain dengan cucunya.
Jika Prabowo menang, ia akan masuk istana dan memimpin Indonesia. Jika kalah, ia akan kembali sibuk dengan bisnisnya. Begitu pula dengan Kyai Ma'ruf dan Sandiaga Uno. Mereka tetap sehat dan bahagia bersama keluarganya. Bagaimana dengan kita?"
Lucunya, nasihat baik ini justru ditanggapi sinis oleh sebagian besar penghuni grup. Bahkan sebagian sampai merundung si pengirim pesan. Kulihat grup ini seperti kumpulan orang dewasa dengan isi kepala bocah TK. Dan aku hanya pengunjung yang dilarang memberi makan.
Membaca kasus Pak Makmuri, rasanya miris. Begitu naif cara berpikir seorang warga yang bahkan rela mengorbankan keluarganya. Makmuri, dan mungkin tidak sedikit manusia Indonesia yang sama, di bagian Indonesia yang lain, berpikir dan bertindak serupa. Mengira diri mereka tengah berjuang untuk Tanah Air, mengelu-elukan tokoh yang setitik pun tak kenal mereka.
Pesan dari korban perundungan di WAG itu kini menjadi nyata. Kalau saja chat di grup itu tak rajin kuhapus, mungkin aku bisa tahu siapa dia, dan akan kusalami dengan ucapan, "Harusnya Bapak/Ibu masuk jajaran menteri!"
Kupikir hanya beberapa rekanku yang mengeluh dikucilkan keluarga besar gara-gara bablas membagi tautan di grup. Kukira hanya aku yang malas ngomong politik di depan saudara karena mereka baperan. Anggapanku saja mereka adalah korban pilpres yang patut dikasihani.
Nyatanya, Makmuri yang mungkin mewakili cebong-kampret di luar sana, lebih patut dikasihani. Merekalah pahlawan konyol yang pengorbanannya berakhir tragis. Kalau Jokowi dan Prabowo beserta seisi parpol mereka bisa berangkulan kembali, Makmuri jelas sudah tak bisa menjamah istrinya lagi.
Semoga ada pihak (terutama dari TKN atau BPN) yang bisa membantu memulangkan Pak Makmuri ke Pemalang, sebagai bentuk pertanggungjawaban, atau katakanlah empati (kalau berat, ya sudah, minimal simpati) kepada ybs.
Bahkan kalau perlu (dan bisa), menyatukan kembali keluarganya yang bubar hanya gara-gara beda pilihan.
Satu lagi, tolong sampaikan ke presiden terpilih. Kalau bagi-bagi sepeda lagi, tolong kasih satu buat Pak Makmuri!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI