Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wak Mati dan "Kerokanisme"

26 November 2017   21:40 Diperbarui: 27 November 2017   03:18 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu kecil, aku punya musuh bebuyutan yang kusebut Wak Mati. Nama aslinya Maryati, lebih tua dari ibuku, sehingga dipanggil Uak. Hanya modal kesamaan suku, perempuan 'kejam' itu punya kuasa di rumahku, seperti di rumah adik kandungnya sendiri.

Jika ia sedang di rumahku, niat minta uang jajan lebih baik ditahan. Mamak---ibuku, tak bakal memberi, sebab sudah dihasutnya lebih dulu. Dulu aku menyimpulkan, Wak Mati tak suka anak-anak, sebab tingkat kecerewetannya pada anak kecil tak terbanding oleh siapa pun di kampung kami.

Jika sakit, ancaman klasik Mamak adalah, "Sini Mamak kerok, gek Wak Mati datang!" maksudnya, kalau aku tidak mau dikerok Mamak, maka Wak Mati yang akan mengerok. Wak Mati tak suka merayu, kalau mengerok anak-anak, sekuat tenaga dibelitnya si anak di antara dua kaki. Satu tangan memegangi, tangan satu lagi untuk mengerok punggung. Membayangkan saja rasanya mau pingsan.

Kini sudah lebih dua puluh tahun berlalu. Pertama kali punya anak, temanku yang seorang perawat di sebuah puskesmas sering berpesan, kalau anak sakit, jangan langsung diberi obat kimia. Jika demam, balur saja dengan minyak dan bawang.

Minyak dan bawang merah, disarankan oleh seorang tenaga medis? Aku kira dua benda itu hanya alat propaganda Wak Mati yang selalu mengajarkan hidup hemat pada Mamak. Tapi temanku tadi bilang, manusia punya antibodi yang bereaksi saat mendapat 'serangan' dari luar. Jadi biarkan kekuatan alami itu bekerja, kita bantu dengan yang alami juga. Jika tak mampu lagi, barulah beralih ke kimia. Masih menurutnya, orang yang terbiasa demikian umumnya jarang berurusan dengan rumah sakit. Sebagai awam, aku sih sekadar mendengar saja ucapannya. Tapi kemudian aku menyadari, ya begitulah kami. Masa kecil dulu, aku tak pernah sampai masuk rumah sakit, puskesmas saja jarang. Yang sering ya itu tadi, bawang merah yang dikerokkan ke punggungku oleh Bapak atau Mamak.

Sampai sekarang, jika Mamak mengeluh sakit, ia tinggal angkat telepon. Bukan memanggil dokter---kami tak punya dokter keluarga---tapi tukang urut langganan yang akan mengerok punggung Mamak. Esoknya, Mamak yang sudah tua masih segar melayani pembeli di warungnya.

Ternyata, apa yang diwariskan orang-orang tua dulu benar adanya, barangkali mereka tak  mampu menjelaskan secara ilmiah pada generasi di bawahnya, hanya mencontohkan ditambah sedikit 'tekanan' atas nama kepatuhan. Sedangkan kita sebagai generasi berikutnya, butuh penjelasan yang logis dan konkret untuk percaya. Maka pada akhirnya, tetap saja kerokan, dengan bawang ataupun logam, masih menjadi pro dan kontra.

Sebuah penelitian tentang manfaat kerokan dilakukan pada rentang 2003--2005. Adalah Didik Gunawan Tamtomo, guru besar dari FK UNS (Universitas Sebelas Maret) yang mensurvei sekira 400 orang dari berbagai latar belakang. Hasilnya, mayoritas responden mengaku masih melakukan kerokan saat masuk angin.

Istilah masuk angin sendiri tidak dikenal dalam literatur kedokteran. Umumnya kita mendefinisikan masuk angin dengan rasa kembung, mual, nyeri otot, flu, dan demam ringan.

Jika sebelumnya kerokan dianggap berbahaya, penelitian yang dilakukan Didik mematahkan anggapan tersebut. Pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi UNS menunjukkan, gesekan pada kulit hanya mengakibatkan pelebaran pembuluh darah. Alih-alih merusak jaringan, ini justru berakibat baik, yaitu meningkatnya pasokan oksigen dalam darah.

Kerokan juga dapat meningkatkan kadar endorfin, yakni morfin alami yang diproduksi oleh sistem saraf pusat dan kelenjar hipofisis. Akibatnya, orang yang dikerok akan merasa nyaman dan berkurang rasa sakitnya.

Masih dari penelitian yang sama, Didik mengklaim kerokan dapat menurunkan kadar prostaglandin, yaitu senyawa asam lemak yang dapat menyebabkan nyeri otot.

Kerokan seharusnya tidak menimbulkan rasa sakit yang kuat jika dilakukan dengan cara yang tepat, yaitu pada titik-titik syaraf, dan menggunakan pelumas untuk melicinkan, agar kulit tidak luka. Salah satu pelumas yang manjur untuk kerokan adalah balsem lang yang terbukti tidak lengket, hangat, dan beraroma menenangkan. Setelah kerokan, sebaiknya tidak mengguyur tubuh dengan air dingin, karena saat itu pori-pori dalam keadaan terbuka.

Mengenang masa kecil dan kerokan, aku teringat kembali balsem kesayangan masa remaja dulu, balpirik hijau, minyak kayu putih bentuknya balsem (lagu iklannya masih terkenang). Sampai sekarang pun aku masih mengandalkan balsem dan minyak untuk meredakan masuk angin, tidak sebentar-sebentar minum obat.

Bahkan saat menulis artikel ini, aku sedang berjuang melawan nyeri otot di punggung. Tentu saja bukan dengan obat pereda nyeri dan semacamnya. Tapi tips andalan Wak Mati yang diturunkan kepada Mamak hingga anak cucunya: oleskan minyak/balsem.

img-20171126-213228-5a1ad172444cb2520a4bdee2.jpg
img-20171126-213228-5a1ad172444cb2520a4bdee2.jpg
Setelah hidup lebih dari seperempat abad, baru aku paham kenapa Mamak dengan senang hati menjadikan Wak Mati sebagai guru. Di balik kejam dan cerewetnya, ada pelajaran hidup yang bisa kami bawa hingga sekarang, bahwa sehat itu bikin hemat. Dan hemat itu menyehatkan. Tapi kalau Wak Mati masih hidup, aku tetap akan mengkritisi gaya mengeroknya.

Referensi:

https://www.dream.co.id/fresh/kerokan-dalam-kacamata-medis-kerokan-dalam-kacamata-medis-140915g.html

http://www.wajibbaca.com/2015/12/inilah-fakta-ilmiah-tentang-kerokan.html

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun