Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apa yang Dilakukan Jika Ide Menulis Mentok?

26 Oktober 2016   19:35 Diperbarui: 26 Oktober 2016   19:43 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini dibuat semata-mata untuk menyemangati diri sendiri yang mulai kesulitan untuk terus menulis. Awalnya dari alasan sibuk bekerja, ternyata setelah resign dari kantor, justru pekerjaan (rumah) jadi makin banyak.

Tidak ada alasan melaundry pakaian, jadi dari mencuci hingga siap pakai di lemari harus dikerjakan sendiri. Tidak ada alasan untuk membeli lauk, hingga dari belanja sampai siap disantap pun harus diselesaikan sendiri. Pekerjaan jadi tiga kali lebih banyak. Alangkah melelahkannya jadi ibu rumah tangga:)

Tapi—klise—hidup kan pilihan. Maka setelah memilih berhenti bekerja, saya harus memilih memaksa diri kembali nyebur ke dunia tulis menulis. Lebih produktif dari waktu bekerja, bahkan dari masa lajang (mungkinkah??)

Oke, kembali ke ide utama. Apa yang dilakukan saat tulisan kehabisan bahan bakar ide? Jawabannya, MEMBACA.

Itulah teori ciptaan saya dulu, kala diundang mengisi acara kepenulisan untuk para pemula. Ini bagian untuk mempertanggungjawabkan ucapan sendiri.

Dari tahun ke tahun inilah yang biasa saya lakukan. Berdasarkan pengalaman, berhenti menulis satu bulan saja, risikonya seperti berhenti seumur hidup. Karena pelajaran akan dimulai dari awal. Pengalaman yang lalu-lalu tinggal cerita.

Membaca membuat kita tergelitik, sisi kritis akan menerbitkan ide-ide baru yang muncul akibat rangsangan bacaan tadi. Contoh sederhananya, membaca buku Harry Potter bisa saja membuat kita berpikir, bagaimana jika ia berada di dunia sihir ala Indonesia yang isinya dukun santet, dukun pengganda uang, bahkan dukun cabul.

Contoh lain, ketika membaca sebuah buku tentang Islam versi pengajian satu, yang isinya meraportmerahkan pengajian lain, biasanya kita juga berpikir kenapa ribut benar untuk hal-hal tak prinsip? Lalu muncullah ide untuk menuliskannya. Lebih kurang begitu.

Ada dua hal yang menjadi tips andalan saya saat peserta acara bertanya—dan pertanyaan ini hampir selalu ada—tentang mood, ide mentok, dst.

Pertama, setiap hari luangkan waktu untuk menulis. Menulis apa pun. Jika dipaksa demikian keras tak juga mampu, maka ganti dengan langkah kedua.

Membaca. Membaca apa pun yang menyenangkan. Jika sedang tak semangat dengan cerpen, bisa ganti novel. Tak ingin fiksi, bisa beralih ke nonfiksi. Tak suka yang berat, sila pilih yang ringan-ringan saja. Pokoknya harus membaca, dan harus senang!

Kenapa harus menyenangkan?

Siapakah di antara kita yang suka membaca buku pelajaran sekolah? Belasan tahun menggendong buku-buku cetak nan berat itu, dibaca dalam keadaan terpaksa—entah karena covernya tak menarik, isinya masalah, atau gurunya yang..., dan keterpaksaan itulah yang membuat kita tak optimal menyerap pelajaran.

Saya pribadi bisa memaksa diri menulis, tapi tak bisa, atau tak mau, memaksa diri membaca sesuatu yang sekiranya sedang tak bisa saya nikmati. Karena nantinya, jangankan mengkritisi, menyimpulkan apa yang dibaca saja saya tak mampu.

Pada akhirnya, saya akan memilih menikmati proses tulis-baca itu. Soal hasil lain urusan. Ada yang kaya uang dengan menulis, ada yang kaya ilmu dengan membaca, ada yang kaya hati dengan keduanya. Proses lebih utama daripada hasil. Karena proses adalah urusan kita, sedang hasil adalah keputusan Tuhan.

Oke, sekarang waktunya melaksanakan apa yang pernah diucapkan di depan banyak orang. Tadi saya benar-benar mentok, mau nulis apa. Lalu saya pilih baca harlequin, lalu muncullah ide menulis catatan kecil ini—gak nyambung blas!

Sudahlah, yang penting nulis. Jika tak menulis dan tak membaca, ya innalillah saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun