Mohon tunggu...
Sugianti bisri
Sugianti bisri Mohon Tunggu... Teacher -

Teacher,blogger,fiksianer,kompasianer, simple woman, and happy mommy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tinta Emas Guru dalam Catatan Pendidikan Anak Bangsa

20 Agustus 2015   03:54 Diperbarui: 20 Agustus 2015   03:54 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak yang dilahirkan ke dunia  tidak bisa memilih dari rahim siapa ia mau dilahirkan? Dari keluarga yang seperti apa ia ingin tumbuh dan berkembang? Jika mereka bisa melalukan hal itu, setiap  anak pasti ingin dilahirkan oleh kedua orang tua yang harmonis, yang merindukan kehadirannya di dunia, dan dari keluarga yang berkecukupan.  Ingin tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak seumuran mereka, ingin merasakan pendidikan yang layak, ingin  mendapat limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan ingin mendapatkan perlindungan agar dapat menjalankan tugas-tugas perkembangannya dengan baik.

Pada kenyataannya, apa yang kita lihat tidak sesuai dengan keinginan anak-anak pada umumnya. Berbagai masalah yang menimpa keluarga kerap melibatkan anak sebagai objek penderita. Mereka terpaksa harus memikul beban kehidupan yang seharusnya belum layak untuk mereka pikul.  Kerasnya hidup merenggut masa kanak-kanak mereka. Beban yang mereka pikul mengorbankan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

DKI Jakarta, ibu kota negara Indonesia, pusat pemerintahan,pusat perekonomian, pusat perindustrian, pusat pendidikan, dan sebutan-sebutan strategis lainnya, justru  menjadi daya tarik penduduk luar daerah untuk mengadu nasib di sini. Mereka berharap dapat mengais rezeki dari gedung-gedung pencakar langit yang memadati ibu kota, pabrik-pabrik yang membuat polusi, ratusan mobil mewah yang memadati jalanan selama 24 jam. Tekadnya untuk mengubah nasib tidak diikuti dengan kemampuan yang mampu menjawab kebutuhan lapangan pekerjaan di Jakarta. Akibatnya, mereka tergerus oleh orang-orang yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan  kemampuan yang memadai. Mau kembali ke kampung halaman hasil yang mereka dapat dari usahanya di kampung tidak mencukupi, mau bertahan di ibu kota akhirnya mereka rela hidup sebagai kaum-kaum yang tersisihkan. Tinggal dikontrakan-kontrakan yang tidak memadai, mendirikan bangunan liar di tanah-tanah milih pemerintahan, bahkan tingkat digubuk-gubuk yang mereka buat di kolong jembatan. Keadaan ini tidak menjadi masalah bagi orang tua saja, anak-anak mereka akhirnya ikut menanggung kerasnya hidup untuk bertahan.

Kehidupan anak terlantar yang selalu kita temui di jalanan, memenuhi taman-taman kota saat menunggu lampu merah jalanan bukan hal yang baru di Jakarta. Keberadaan mereka menjadi salah satu permasalahan berat bagi pejabat  di negeri ini. Keberadaan mereka ibarat jamur di musim hujan, kian hari kian bertambah jumlahnya. Apakah pemerintah menutup mata? Apakah pejabat setempat menutup mata atas derita mereka di jalanan?

Sebagai upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, salah satunya dengan di bukanya SMP Terbuka pada tahun 1979. Sekolah yang menjangkau bagi mereka yang tak terjangkau karena keterbatasan waktu, lokasi atau ekonomi ini pada awalnya hanya dikembangkan di 5 wilayah di Indonesia, yaitu lampung, Cirebon, Tegal, Jember dan Ternate. Keberadaannya semakin berkembang Seiring dengan dicanagkannya wajib belajar 9 tahun  oleh Presiden Soeharto pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 1994 dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan dasar pada anak agar lebih mampu berperan dalam kehidupan masyarakat. Jumlah siswanya pun bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan masing-masing penduduknya.

Sejak menjadi guru bina di salah satu SMP Terbuka di Jakarta, saya makin terenyuh. Banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita sebagai orang yang dituakan oleh mereka. Jika orang tua mereka tidak mampu/tidak mau memberikan kehidupan yang layak untuk kehidupan mereka di masa mendatang, apakah orang-orang yang menyaksikannya tidak mempunyai solusi atas permasalahannya? Apa yang kita nikmati sekarang ini hasil perjuangan dari pendahulu kita. Bisa jadi mereka yang bernasib sangat menyedihkan itu adalah anak cucu orang yang rela ditembus peluru saat menghadapi musuh di medan perang. Karena perjuangan nenek moyangnya tidak tercatat dalam sejarah, hingga kehidupannya jadi terbengkalai. Apakah kita tidak merasa berdosa, menikmati kemerdekaan bangsa ini tanpa memperdulikan jasa orang-orang yang berjuang, menjadikan kita merdeka di negeri sendiri.

Pemerintah sudah memberikan fasilitas pendidikan yang layak bagi mereka, berbagai fasilitas pendidikan bagi mereka kian hari kian ditingkatkan. Sebagai orang yang kebetulan diberi amanah untuk membina mereka di pendidikan formal yang sudah disediakan pemerintah. Saya dan sejumlah guru yang berada di jajaran tenaga pengajar di sekolah ini hanya berusaha menjalankan amanah yang dipercayakan kepada kami. Baik sebagai guru bina maupun sebagai guru pamong.

 

Mereka tumbuh dari latar belakang keluarga dengan sejumlah permasalahan. Tidak seperti anak SMP Reguler pada umumnya. Meskipun mereka mendapatkan hak pendidikan yang sama namun mereka harus mendapat perlakuan yang berbeda.

Mereka mau sekolah, belajar di TKB setiap hari sesuai jadwal yang disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak dan datang ke Sekolah Induk dengan rajin sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Semangat beajar mereka tidak sama dengan anak-anak seumuran mereka pada umumnya. Sebagian mereka datang ke sekolah dalam kondisi tenaga yang tersisa setelah membantu orang tua bekerja untuk mencari nafkah. Namun mereka menmpunyai tanggung jawab yang sama, menuntaskan seluruh kegiatan belajar sesuai dengan kurikulum sekolah pada umumnya.

Bagaimana guru menyikapi hal ini? Menyelesaikan tujuan pembelajaran sudah menjadi kewajiban. Agar mereka mampu menuntaskan pembelajaran dan mengikuti ujian nasional    dengan beban yang sama dengan sekolah lainnya walaupun waktu mereka belajar jauh lebih sedikit. Memang bukan perkara yang muda jika dihadapkan dengan anak-anak yang seperti ini. Guru  harus lebih banyak memberikan motivasi, agar mereka semangat menuntaskan pendidikannya. Emosinya harus tetap terjaga, anak yang berasal dari keluarga yang seperti ini, temperamennnya tinggi dan kadang susah terkontrol. Moralnya juga telah tergerus oleh kehidupan jalanan, kehidupan yang akrab dengan kekerasan dan penindasan.

Rangkul mereka dengan hangat. Tanamkan dalam diri mereka, bahwa usaha mereka untuk tetap belajar sekarang ini adalah suatu upaya untuk memperbaiki hidupnya. Agar mereka bisa hidup lebih layak dari orang tuanya. Mereka lebih membutuhkan motivasi dari sekedar berteori. Kegiatan-kegiatan pembiasaan untuk menumbuhkan karakter yang positif harus lebih ditingkatkan. Bagaimana agar mereka dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah seperti kebijakan pemerintah yang memberlalukan wajib belajar 12 tahun mulai tahun ajaran 2015/2016 sekarang ini? Arahkan mereka agar tidak salah  dalam memilih sekolah menengah agar setelah selesai mereka dapat berkembang sesuai dengan harapan mereka. Menanamkan pemahaman yang kuat, bahwa kesusahan hidup itu bukan warisan. Jika mereka mampu mengubah keadaan, mereka akan mempunyai masa depan yang lebih terang.

Fasilitas yang diberikan pemerintah seperti sekolah gratis sejak beberapa tahun yang lalu, pemberian bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan tambahan untuk Jakarta ada Kartu Jakarta Pintar hendaknya dapat digunakan secara bijak. Tak lekas membuat orang tuanya berhenti bekerja karena jumlah bantuan yang  diterima tidak sedikit. Bagi orang tua yang  sudah berkecukupan juga tak lekas menyekolahkan anaknya di SMP Terbuka dengan bermodalkan surat keterangan pura-pura miskin. Pendidikan anak adalah tanggung jawab setiap orang tua. Jika orang tua mampu memberi yang lebih, sekolahkan anak  di sekolah yang lebih baik. Bukankah masa depan kita akan dititipkan pada mereka? Jika mereka mampu hidup dengan lebih baik, pasti orang tua yang akan merasakan keberhasilan mereka.

Saat dimulainya tahun ajaran baru, saya cukup terkagum dengan kejadian yang satu ini. Selesai MOPDB para orang tua murid banyak yang datang ke sekolah untuk melengkapi berkas yang dibutuhkan atau sekedar menjenguk anak-anaknya. Dari sekian orang tua yang berlalu lalang di depan kantor, mata saya tertuju pada ibu-ibu yang begitu akrab di mata saya. Ya….ibu itu biasanya duduk mengharapkan belas kasihan dari orang-orang yang lewat di komplek tempat tinggal saya yang kebetulan ramai di lalui orang pada saat jam kerja. Kesehariannya, ia dan keempat anaknya yang semuanya perempuan berjalan melintasi rumah saya saat saya akan berangkat kerja. Ia bersama anak – anaknya dengan penampilan layaknya pengemis menggambil posisi duduk di depan rumah pejabat yang cukup terkenal di negeri ini  yang kebetulan pintu gerbangnya jarang di buka, berjarak beberapa rumah dari rumah saya.  Usut punya usut ternyata anaknya, yang selalu ia bawa mengais rezeki itu diterima sebagai siswa baru di SMP Terbuka ini. Saya merasa terenyuh karena susahnya hidup yang ia jalani, masih membakar semangatnya untuk menyekolahkan anaknya. Satu pelajaran hidup yang harus direnungkan.

Kedepannya, saya berharap bukan ibu empat anak tadi yang bisa bertemu saya di sini, Masih banyak contoh ibu-ibu yang lain di pinggiran jalan yang membawa putra putrinya mengais rezeki bisa mempunyai pemikiran yang sama dengan ibu ini. Mematahkan pemikiran orang tua yang membawa serta anaknya mengemis akan mengundang simpati orang yang melihat dan akan menambah penghasilan mereka.

Anak-anak dari kaum marjinal ini adalah sebuah tantangan untuk kami dalam menjalankan profesi. Yang mereka butuhkan tidak hanya ilmu pengetahuan. Pengalaman hidup mereka yang keras bisa dijadikan sumber motivasi untuk memperbaiki kualitas diri. Jika hidup dengan segala kekurangan bukan sebuah pilihan, namun kehidupan di masa depan dengan warna yang lebih terang merupakan kewajiban.  Tak banyak yang bisa kami perbuat untuk anak negeri yang tersisi namun dengan segala kemampuan dan keterbatasan yang kami miliki dapat menjadi jembatan bagi mereka meraih mimpi  

 

*) Keterangan Foto : Sekolah Terbuka Taruna Jaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun