Mohon tunggu...
Mr. Gee
Mr. Gee Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang hendak ditulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etika Hukum di Jalan Raya

29 September 2015   13:05 Diperbarui: 29 September 2015   14:19 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pengendara sepeda motor tiba-tiba jatuh dari motornya dan tertabrak teman yang ada dibelakangnya yang akhirnya jatuh juga. Setelah sadar dan diobati luka-lukanya, temannya bertanya, "Kenapa tadi tiba-tiba jatuh, padahal tidak ada batu dan lubang".

"Iya tadi saya kaget dan panik melihat ada polisi berdiri di seberang jalan dekat tikungan."

"Kenapa harus kaget" Tanyanya lagi

"Lho, kita kan tidak pakai helm dan membawa surat-surat kendaraan."

"Oh, begitu. sekedar kamu tahu saja bahwa polisi itu tadi bukan sedang mentilang tapi menerima telpon dari temannya."

Jalan raya adalah mesin pencabut nyawa nomor tiga setelah bunuh diri dan narkoba. Artinya banyak orang meninggal sia-sia karena kecelakaan karena ulahnya sendiri atau kurban kelalaian orang lain. Sekitar hari raya kemarin kurban meninggal hampir 3000-an, itu yang tercatat dan belum yang luka-luka saja. Resiko yang besar di jalanan seharusnya melahirkan peraturan dan hukum yang berat bagi pelanggarnya.

Dalam hal ini banyak masyarakat tidak menyadari sepenuhnya. Kesadaran hukum terkadang harus ditakuti dengan hukuman. Contoh kecil masalah kesadaran untuk memakai helm, bukan karena untuk menjaga kepalanya jika terjadi kecelakaan tapi ketakutan jika bertemu dengan polisi di jalanan.

Padahal peraturan wajib helm ditetapkan karena banyaknya kasus kematian dijalanan akibat kecelakaan. Kebanyakan kurban meninggal dunia karena pecah kepala, gagar otak atau pendarahan di bagian kepala. Bukan polisi mau bisnis helm, tapi murni untuk keselamatan pengendara motor.

Adapun tilang menilang adalah cara untuk menjebak masyarakat agat taat memakai helm. Harga helm dan biaya tilang tidak seberapa dibandingkan dengan harga kepala  pecah yang retak pada kematian. Masyarakat umum lebih takut kepada polisi daripada kepalanya yang pecah.

Demikian juga dengan seftybelt mobil bagi sopir dan  orang yang duduk di samping sopir. Sebenarnya juga murni untuk keselamatan mereka, karena banyaknya peristiwa kecelakaan mobil yang menjadi kurban adalah sopir dan orang disampingnya.

Banyak rambu-rambu lalu lintas yang terpasang di pinggir jalan. Garis marka putih sepanjang jalan, lampu trafick light, petunjuk menanjak, berbelok, tak berparkir sembarangan, pembatasan kecepatan dan lain-lain.  Itu semua bukan sekedar hiasan jalanan atau sebuah pengetahuan belaka. Tapi untuk mengingatkan dan pemberitahuan secara terus menerus kepada pengguna jalan untuk taat aturan demi keselamatan dia dan orang lain.

Ada hak-hak orang lain di jalanan, meskipun kita sudah bayar pajak atau ikut iuran membangun jalanan tersebut. Karena tidak ada raja jalanan kecuali pejabat elit dengan pengawalnya.

Coba saja, kita berjalan kaki atau naik sepeda motor di sebelah kiri atau di tengah. Kalau tidak dibilang gila, kurang waras tau mendapat umpatan sambil marah dari orang lain. Mungkin itu masih baik, kalau ditabrak pengendara lain maka tidak ada disalahkan seratus persen penabraknya.

Etika di jalanan sangat terkait dengan kesadaran hukum dari para pengguna jalan dan penegak hukum tentunya. Polisi atau petugas lalu lintas bukan sekedar mentilang mencari uang recehan. Beroperasi hanya di akhir-akhir bulan karena gaji sudah menipis. Inilah yang membuat korp polisi lalu lintas menjadi kehilangan wibawa sehingga aturan menjadi mainan.

Bisa belajar atau dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Budaya antre di jalanan, tidak parkir sembarangan dan sangat tertib orang di jalan-jalan. Aturan mereka sangat ketat dengan resiko denda yang juga berat. Polisi mereka tidak mengenal kongkalingkong karena pakai sistem digital. Pengawasan melalui CCTV di sepanjang jalan-jalan strategis.

Dalam Islam ada beberapa adab di jalanan yaitu berdoa dan tidak mengganggu hak orang lain. Beratnya kehidupan di jalanan sehingga Allahpun mengajarkan untuk berdoa. Adab juga menjadi penting karena terkait dengan kepentingan orang lain dan orang banyak. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun