Sebaliknya saat kita berkomitmen untuk menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk diinvestasikan, kita jadi terbiasa semakin disiplin dan bijak dalam menggunakan uang.
Kita sudah paham tentang tujuan yang ingin diraih di masa depan. Tak ada masalah kalau hari ini harus hidup sederhana yang penting di hari tua nanti tidak sengsara atau jadi beban bagi anak kita.
Seni menikmati hidup tak melulu harus berfoya-foya, menghabiskan banyak biaya, sampai tak ada lagi yang tersisa.
Kalau mau jujur terhadap diri sendiri, sering kali penghasilan yang kita punya "bocor" untuk hal-hal yang bukan menjadi kebutuhan. Akibatnya kita berpikir bahwa penghasilan kita terlalu pas-pasan.
Padahal, andaipun suatu saat jabatan dan penghasilan kita meningkat dua kali lipat namun bila ternyata gaya hidup kita ikut-ikutan meningkat, pasti kita akan kembali merasa penghasilan kita terlalu sedikit.
Sehingga tepat seperti kata Housel, masalah mengelola uang lebih banyak berkaitan dengan psikologi, perilaku dan mindset. Bicara perilaku akan sangat sulit diajarkan bila belum memiliki mindset yang benar termasuk kepada orang paling pintar sekalipun.
Untuk menguji apakah benar penghasilan kita mengalami banyak "kebocoran" dalam penggunaannya, cukup sederhana saja.
Coba misalnya dalam sebulan kita mencatat benar-benar penghasilan yang bisa diperoleh. Selanjutnya catat juga pengeluaran dengan sejujur-jujurnya, serinci-rincinya, sampai serupiah-rupiahnya.
Kalau sudah selesai, tinggal kita koreksi pada bagian pengeluaran, di mana saja alokasi dan yang sejujurnya bukan merupakan kebutuhan mendesak alias sekadar keinginan belaka.
Apakah kita terlalu boros belanja sana-sini karena tergiur iming-iming promo "SALE" dan bertabur diskon? Atau mungkin uang kita banyak habis untuk membeli makanan atau minuman kekinian?Â
Kalau sudah berhasil menemukan di mana saja letak kebocorannya, mulailah berkomitmen untuk menguranginya sekaligus mulai mengalihkannya sebagai dana tabungan/investasi.