Banyak orang masih sering menjadikan minimnya jumlah penghasilan sebagai alasan untuk tidak berinvestasi. Tapi benarkah alasan minimnya penghasilan itu yang menjadi faktor utama penghambat untuk mulai berinvestasi?Â
Mari kita belajar dari kisah seorang warga biasa bernama Ronald Read, seorang warga biasa asal Amerika. Kisah ini ada di dalam buku "The Psychology of Money" ditulis Morgan Housel.
Read lahir di sebuah perdesaan bernama Vermont. Dia hanya lulusan SMA dan akhirnya bekerja sebagai petugas kebersihan dan penjaga pom bensin. Hidupnya sangat bersahaja.
Tak banyak yang peduli apalagi membicarakan kisah hidupnya, termasuk orang-orang sekitar. Tak ada yang istimewa. Ia bekerja di pom bensin selama 25 tahun dan menjadi petugas kebersihan selama 17 tahun. Istrinya sudah meninggal saat Read berusia 50 tahun dan dia tak pernah menikah lagi.
Tahun 2014, Read meninggal dunia di usia 92 tahun. Saat itulah namanya langsung masuk berita internasional.
Housel dalam bukunya mencatat dengan sangat menarik: "Tahun 2014, sebanyak 2.813.503 orang Amerika meninggal. Tak sampai 4.000 punya harta di atas $8 juta ketika meninggal. Ronald Read adalah salah satunya.
Sebelum meninggal ternyata Read sempat menulis surat wasiat dan mewariskan $2 juta kepada anak-anak tirinya dan $6 juta lebih kepada rumah sakit dan perpustakaan setempat.
Banyak yang kaget. Bagaimana bisa Read punya uang sebanyak itu? Apakah hasil lotre atau warisan? Bukan.
Read semasa hidupnya secara rutin selalu berusaha menyisihkan berapa pun uang yang dia punya lalu diinvestasikan dengan cara dibelikan saham. Read melakukannya dengan sabar selama berpuluh tahun.
Akhir hidupnya menjadi sangat manis dan dijadikan inspirasi oleh banyak orang. Read dari seorang petugas kebersihan kemudian dikenang sebagai seorang investor yang dermawan, filantropis. Itu kisah nyata dan bukan cerita rekaan atau fiksi.
Lo Kheng Hong, triliuner sekaligus salah satu investor saham tersukses di Indonesia, juga punya kisahnya sendiri. Ia berasal dari keluarga sederhana dan berhasil menamatkan kuliah sarjana dari sebuah kampus "tak bernama".
Ia kuliah di malam hari karena harus sambil bekerja sebagai pegawai rendahan di sebuah bank swasta.
Seperti halnya Read, Lo Kheng Hong juga punya kebiasaan selalu menyisihkan uang dari penghasilannya setiap bulan untuk ditabung dan dibelikan saham. Ia hidup hemat dengan penghasilan yang dimiliki. Itu yang dilakukannya secara konsisten selama berpuluh tahun.Â
Lo Kheng Hong dalam setiap kesempatan sering berkata dengan nada yang sangat memikat "Ada 1% atau sekitar 3130 orang lulusan Universitas Harvard (salah satu yang terbaik di dunia) yang punya uang $30 juta. Sementara Lo Kheng Hong hanya kuliah di salah Universitas di Jakarta yang tidak punya kampus. Setiap malam saya kuliah di gedung SMA yang disewa oleh universitas. Tetapi sekarang, Saya lebih kaya dari 99 % lulusan Universitas Harvard".
Sisihkan bukan sisakan
Setelah membaca kisah hidup Read dan Lo Kheng Hong di atas, apa yang bisa kita pelajari? Apakah kita masih mau menjadikan penghasilan pas-pasan sebagai alasan tidak memulai berinvestasi? Apakah nasib dan pekerjaan kita saat ini masih "lebih sial" dari nasib Read yang bekerja sebagai penjaga pom bensin dan petugas kebersihan?Â
Atau masih mencari alasan yang lebih canggih lagi, "Tapi gaji petugas kebersihan di Amerika kan pasti beda dengan di Indonesia?" Kalau masih punya pemikiran seperti ini, dapat disimpulkan sebenarnya Anda memang tak ada niat sama sekali.
Salah satu tips sederhana yang saya pelajari sekaligus praktikkan agar selalu konsisten dan punya uang untuk diinvestasikan adalah dengan berusaha menyisihkan bukan menyisakan. Apa bedanya?
Kalau menyisakan, berarti kita berpikir bahwa gaji/penghasilan yang (mungkin) rutin diperoleh tiap bulan akan kita gunakan terlebih dahulu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kalau ada sisanya, itu yang akan kita tabung atau investasikan.
Kalau menyisihkan, berarti kita sudah punya hitung-hitungan bahwa dari setiap penghasilan bulanan yang diperoleh, kita akan langsung menyisihkan sebagian untuk diinvestasikan. Sisanya itu yang akan kita gunakan untuk bermacam-macam keperluan.
Masalah yang sering terjadi saat kita berpikir untuk menyisakan, ternyata setelah gaji digunakan untuk berbagai keperluan akhirnya tidak ada lagi sisa uang untuk diinvestasikan. Kita berpikir mungkin bulan depan. Ternyata tetap tidak bisa. Begitu seterusnya.
Sebaliknya saat kita berkomitmen untuk menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk diinvestasikan, kita jadi terbiasa semakin disiplin dan bijak dalam menggunakan uang.
Kita sudah paham tentang tujuan yang ingin diraih di masa depan. Tak ada masalah kalau hari ini harus hidup sederhana yang penting di hari tua nanti tidak sengsara atau jadi beban bagi anak kita.
Seni menikmati hidup tak melulu harus berfoya-foya, menghabiskan banyak biaya, sampai tak ada lagi yang tersisa.
Kalau mau jujur terhadap diri sendiri, sering kali penghasilan yang kita punya "bocor" untuk hal-hal yang bukan menjadi kebutuhan. Akibatnya kita berpikir bahwa penghasilan kita terlalu pas-pasan.
Padahal, andaipun suatu saat jabatan dan penghasilan kita meningkat dua kali lipat namun bila ternyata gaya hidup kita ikut-ikutan meningkat, pasti kita akan kembali merasa penghasilan kita terlalu sedikit.
Sehingga tepat seperti kata Housel, masalah mengelola uang lebih banyak berkaitan dengan psikologi, perilaku dan mindset. Bicara perilaku akan sangat sulit diajarkan bila belum memiliki mindset yang benar termasuk kepada orang paling pintar sekalipun.
Untuk menguji apakah benar penghasilan kita mengalami banyak "kebocoran" dalam penggunaannya, cukup sederhana saja.
Coba misalnya dalam sebulan kita mencatat benar-benar penghasilan yang bisa diperoleh. Selanjutnya catat juga pengeluaran dengan sejujur-jujurnya, serinci-rincinya, sampai serupiah-rupiahnya.
Kalau sudah selesai, tinggal kita koreksi pada bagian pengeluaran, di mana saja alokasi dan yang sejujurnya bukan merupakan kebutuhan mendesak alias sekadar keinginan belaka.
Apakah kita terlalu boros belanja sana-sini karena tergiur iming-iming promo "SALE" dan bertabur diskon? Atau mungkin uang kita banyak habis untuk membeli makanan atau minuman kekinian?Â
Kalau sudah berhasil menemukan di mana saja letak kebocorannya, mulailah berkomitmen untuk menguranginya sekaligus mulai mengalihkannya sebagai dana tabungan/investasi.
Kalau masih belum berhasil menemukannya, coba teliti sekali lagi dengan benar-benar dan sangat hati-hati. Kalau masih sulit dan belum berhasil juga, mungkin itu karena kita sedang mencoba berbohong pada diri sendiri.
***
Jambi, 10 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H