Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bayi Butuh ASI, Istri Perlu Dukungan Suami

9 Agustus 2023   06:48 Diperbarui: 9 Agustus 2023   07:01 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena bikinnya berdua, ngurus anaknya juga berdua (@id_ayahasi)

Suatu ketika istri mengajak saya untuk bersama-sama hadir dalam satu kelas edukasi yang membahas tentang pentingnya ASI (Air Susu Ibu) bagi tumbuh kembang anak. 

Awalnya saya mengira itu kelas khusus untuk ibu-ibu dan nanti saya hanya akan ditugasi menggendong bayi kami yang saat itu memang usianya masih hitungan bulan. Ternyata saya keliru.

Acara tersebut memang diinisiasi oleh sebuah gerakan/asosiasi yang concern pada kampanye pentingnya ibu menyusui. Namun uniknya yang menjadi pembicara utama di acara itu justru laki-laki alias bapak-bapak.

Rahmat Hidayat, pembicara utama itu memperkenalkan dirinya dan sebuah "organisasi" bernama AyahASI Indonesia (akun instagram: @id_ayahasi). Saat itu, Rahmat mengatakan AyahASI Indonesia belum layak disebut sebuah organisasi karena tidak mempunyai struktur yang jelas.

Meskipun demikian, lahirnya "organisasi" ini ternyata diinisiasi dan didukung oleh beberapa tokoh publik misalnya Ernest Prakarsa, Sogi Indra Dhuaja, dan tokoh lainnya.

Tujuan gerakan ini selain mengkampanyekan tentang pentingnya ASI bagi anak, juga mendorong keterlibatan dan partisipasi aktif para ayah untuk mendukung para ibu dalam mengurus anak.  

Harus diakui dalam pergaulan lingkungan sosial masyarakat kita, masih banyak persepsi yang keliru khususnya terkait dengan relasi istri dengan suami dalam rumah tangga.

Sering ada anggapan bahwa tugas utama suami adalah mencari nafkah. Titik. Sementara urusan rumah tangga termasuk anak dominan menjadi tanggung jawab istri.

Kalau ada seorang ayah yang misalnya mau ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga misalnya menyapu rumah, menjemur pakaian, atau mungkin menggendong anak seringkali ia akan diejek temannya sudah seperti "keibu-ibuan" atau "di bawah kendali istri".

Kampanye yang digaungkan oleh AyahASI Indonesia sekaligus menjadi tagline populernya adalah "Karena bikinnya berdua, ngurus anaknya juga berdua".

Kalimat yang sederhana, to the point mungkin terkesan agak "nakal" namun sangat sarat dengan makna.   

Dalam hal memberikan ASI, juga masih ada anggapan keliru. Seolah-olah karena yang bisa menghasilkan ASI adalah si ibu, lalu si ayah seperti tak punya peranan apapun.

Dari materi yang saya dapatkan saat mengikut kelas itu, peranan seorang suami/ayah juga cukup menentukan berhasil atau tidaknya proses menyusui.    

Perjuangan ASI dan dukungan suami

Kalau saya mengingat-ingat kembali proses saat anak pertama kami masih bayi dan menyusu, saya bisa katakan bahwa memberikan ASI pada bayi juga butuh perjuangan.

Saat ini anak pertama kami itu sudah berusia lebih dari 4 tahun. Ia menyusu pada ibunya sampai kira-kira berumur 2 tahun. Dari lahir sampai usia enam bulan, proses tumbuh kembangnya praktis hanya bergantung pada ASI yang dihasilkan ibunya. Baru pada umur enam bulan ada diberikan tambahan berupa MPASI (makanan pendamping ASI).

Dalam menjalani proses menyusui selama 2 tahun atau minimal 6 bulan tadi, apakah semua berjalan lancar? Tentu saja tidak. Kami punya banyak cerita dan pengalaman.

Misalnya di awal-awal kelahiran. Mungkin seperti yang dialami para ibu pada umumnya, rasanya ASI sulit sekali mengalir. Kalaupun ada sepertinya cuma beberapa tetes saja.

Saat si bayi mulai merengek dan ASI belum lancar keluar, kami semakin panik. Timbul kekuatiran anak kami akan terhambat pertumbuhannya karena kurangnya asupan makanan.         

Belakangan baru sadar bahwa saat bayi baru lahir ukuran lambungnya masih sangat kecil sehingga jumlah ASI yang dibutuhkannya pun sebenarnya belum banyak.

Apakah setelah fase itu, lalu semuanya berjalan lancar? Tidak juga. Tetap saja ada masa-masa misalnya ketika istri merasa ASI yang dihasilkan agak seret. Padahal istri saya sudah mengonsumsi banyak makanan termasuk obat yang katanya bisa meningkatkan produksi ASI.                 

Masalah berikutnya saat ada orang lain atau keluarga yang datang berkunjung ke rumah dan saat melihat si bayi lalu berkomentar "Anaknya kelihatan kurus, kurang minum (ASI) ya?".

Pertanyaan yang kelihatannya sepele namun sebenarnya bisa mengganggu psikologi para orangtua khususnya si ibu. Mungkin saja sebenarnya tidak ada niat buruk juga dari si penanya itu.

Saat menghadapi kondisi-kondisi semacam itu, untungnya kami masih bisa ngobrol satu sama lain. Sebisa mungkin saya terus memotivasi agar si istri tak menjadi patah semangatnya. Saya terus meyakinkan bahwa dia akan berhasil dan mampu melewati fase menyusui ini.

Beberapa kali saya juga membantunya misal saat melakukan pijat laktasi pada area punggungnya. Saya yang tidak punya keahlian pijat memijat, mau tak mau harus ikut "kursus kilat" dari ahlinya melalui youtube.

Ibu bidan yang memperagakannya sempat mengatakan bahwa pijat laktasi pada ibu menyusui yang paling ideal memang harus dilakukan si suami bukan orang lain.

Sepertinya memang bukan soal teknik dan cara memijatnya yang paling penting, namun perasaan rileks, nyaman dan perasaan disayang dan didukung suami, itulah yang lebih dibutuhkan si istri. 

Ia jadi tak merasa berjuang sendiri. Dan itu berpengaruh besar pada produksi ASI yang bisa dihasilkan.     

Meskipun tidak mudah menjalaninya, namun kami terus berpegang pada keyakinan pengetahuan, dan komitmen yang sudah kami punya sebelum memiliki anak; bahwa ASI adalah pemberian terbaik untuk si anak yang tak bisa digantikan dengan apapun termasuk susu formula termahal sekalipun. Anak kami harus mendapat ASI.   

Kami juga banyak belajar dari para artis dan selebgram di medsos yang sering berbagi pengalaman dan perjuangannya saat memberi ASI pada anak.

Kadang-kadang jadi suka berkelakar, "Para artis yang terkenal dan kaya saja berusaha memberi ASI pada anaknya, kok malah kita yang bukan artis dan gak punya banyak uang, gak bisa melakukan hal yang sama?".

Manfaat ASI

Dari kelas edukasi tentang manfaat ASI yang pernah saya ikuti termasuk dari berbagai sumber informasi yang ada, sangat jelas sekali bahwa ASI merupakan kebutuhan paling mendasar yang semestinya harus didapatkan oleh semua bayi terutama pada fase 2.000 hari pertama sejak kelahirannya.

Zat-zat yang terkandung dalam ASI dan sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak tak bisa digantikan oleh apapun. Saya ingat, pernah ada pemateri menunjukkan tabel yang menggambarkan perbedaan kandungan gizi yang terkandung pada ASI dan susu formula.

Kandungan gizi yang terkandung dalam ASI sangat banyak, saya tidak ingat persis nama-namanya. Sementara pada susu formula yang paling dominan adalah gula dan lemak.

Ini bisa menjelaskan mengapa anak-anak yang mengonsumsi susu formula hampir selalu terlihat lebih padat postur tubuhnya dan menggemaskan seperti iklan-iklan di televisi dibandingkan anak yang hanya diberi ASI.

Mungkin saja karena ingin punya anak yang terlihat menggemaskan, membuat kebanyakan para ibu sekarang ini lebih senang memberikan susu formula pada anaknya dibanding memberi ASI. Lebih praktis dan hasilnya pun langsung kelihatan.

Namun dari pengalaman pribadi, kami bisa mengatakan bahwa manfaat ASI itu memang nyata adanya dan bukan sekadar teori belaka.

Saya bisa menyaksikan langsung beberapa kali saat anak kami masih berumur kisaran bulanan dan badannya sedang demam atau agak pilek, kami termasuk jarang memberinya obat.

Satu-satunya obat andalan yang diberikan istri saya adalah ASI. Ajaib. Setelah disusui, demam dan pileknya langsung berangsur hilang.

Tanpa bermaksud membangga-banggakan, anak pertama kami yang sekarang sudah berumur 4 tahun lebih, saat umurnya masih di fase menyusui, bisa dikatakan hampir tidak pernah kami bawa ke dokter atau rumah sakit. Kami membawanya kesana hanya ketika akan imunisasi.    

Saat sakit demam misalnya, hanya sesekali juga kami memberinya obat dan itupun dengan obat bermerk "sejuta umat" yang lazim dikonsumsi kebanyakan orang. Selebihnya, istri saya akan lebih sering menyusuinya.

Anak kami juga sepertinya tidak pernah mengalami masalah gangguan pencernaan sehingga harus dibawa ke dokter, seperti yang sering dialami anak-anak yang mengonsumsi susu formula.

Manfaat lain yang sangat nyata dari ASI adalah sejak lahir dan sampai hari ini, kami tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk sekadar membeli susu anak.

Faktanya banyak orang termasuk teman dan orang terdekat kami yang mengalaminya. Setiap bulan mereka mengeluh karena harus mengalokasikan dana rumah tangga yang cukup besar hanya untuk membeli susu anak.

Seandainya anak bisa diberi ASI, barangkali uang sebanyak itu akan lebih bermanfaat bila ditabung atau diinvestasikan sebagai persiapan masa depan bagi si anak.

***

Jambi, 9 Agustus 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun