Lo Kheng Hong seorang investor saham yang sukses dalam beberapa kesempatan selalu mengatakan, "saham is the best choice". Dari begitu banyak pilihan instrumen investasi, menurutnya saham adalah pilihan yang terbaik.
Lebih lanjut ia mengatakan, tak pernah tertarik dengan berbagai tawaran investasi maupun kerjasama bisnis yang datang padanya, meskipun dengan penawaran potensi keuntungan yang besar.
Bila kita mengikuti kisah hidup dan perjalanan investasinya tentu bisa memahami sikapnya tersebut. Banyak rekor persentase keuntungan yang sudah dibuatnya kala berinvestasi saham. Bukan hanya sekadar puluhan atau ratusan persen, melainkan ribuan hingga belasan ribu persen.
Lo Kheng Hong pernah untung 12.500 persen dari saham MBAI. Artinya keuntungan yang didapat sebesar 125 kali. Misalkan ia hanya menginvestasikan dana sebesar 1 juta rupiah saja, keuntungan yang diraihnya adalah 125 juta saat dijual.
Apakah ada usaha yang dilakukannya untuk meraih itu, misalnya terpaksa harus bekerja keras terus menerus setiap hari sampai lembur? Tidak. Ia hanya membeli saham lalu menyimpannya.
Dengan agak berkelakar, ia selalu menasihatkan bahwa ketika kita sudah menemukan saham perusahaan yang hebat, maka hal terbaik yang harus dilakukan adalah tidur. Tambahnya lagi, tidur adalah jalan menuju kekayaan.
Investasi yang menyenangkan
Kalau saya ditanya, sebagai investor saham yang relatif pemula barangkali belum berani mengatakan saham adalah pilihan investasi terbaik.
Alasannya sederhana. Saya sendiri belum bisa dikatakan sebagai investor saham yang sukses dan berhasil. Dana kelola investasi saya di saham juga hampir tidak ada apa-apanya dibandingkan investor yang lain, apalagi kalau dibandingkan Lo Kheng Hong.
Saya juga tahu bahwa di luar saham, banyak juga orang sukses dan berhasil entah dari bisnis atau investasi yang lain misalnya komoditas atau properti.
Saya lebih suka menyebut saham sebagai investasi yang sangat menyenangkan. Dalam hal apa? Berikut empat diantaranya. Â
Pertama, potensi keuntungan
Investasi saham sebagaimana diketahui bisa memberikan dua potensi keuntungan; selisih akibat kenaikan harga saham yang kita punya atau sering disebut capital gain dan pembagian keuntungan perusahaan ke para pemegang saham alias dividen.
Dua keuntungan ini seperti saling melengkapi. Dividen oleh kebanyakan investor saham sering disebut sebagai "uang tunggu" kesabaran sebelum harga sahamnya itu naik.
Di bursa saham kita ada banyak perusahaan yang punya historis selalu rutin membagikan dividen setiap tahunnya. Ada yang satu kali, dua kali, bahkan empat kali. Dividen bisa diterima tanpa harus menjual atau mengurangi lembar saham yang kita miliki. Dividen adalah sumber aliran kasnya (cashflow) para investor saham.
Bicara tentang nominal dividen tentu sangat beragam, tergantung tipikal dan pastinya kinerja perusahaan. Ada perusahaan yang gemar membagikan dividen jumbo, ada pula yang pelit.Â
Sementara bicara keuntungan hasil capital gain, bisa dikatakan tidak terbatas dan tergantung pada kesabaran si investor. Kebanyakan investor (termasuk saya) mungkin saat melihat potensi keuntungan puluhan persen saja terkadang sudah "gatal" dan tidak sabar ingin segera merealisasikannya.
Namun investor kakap seperti Lo Kheng Hong dikenal sebagai investor dengan tingkat kesabaran yang sangat mengagumkan. Bayangkan, mereka sabar menyimpan sahamnya selama bertahun-tahun hingga menghasilkan keuntungan ribuan persen.
Kedua, status sebagai pemilik perusahaan   Â
Investasi di bursa saham memberikan kesempatan kepada publik untuk bisa ikut menjadi pemilik suatu bisnis perusahaan. Caranya tentu saja dengan membeli saham perusahaan tersebut.
Bayangkan perusahaan publik sebesar Astra International (ASII), mungkin sampai kapanpun mustahil rasanya kita punya kemampuan untuk mendirikan perusahaan raksasa sebesar itu. Tapi dengan membeli sahamnya, kita bisa ikut menjadi pemilik perusahaan itu.
Apa buktinya kita diakui sebagai pemilik perusahaan? Setiap pelaksanaan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), kita pasti akan diundang untuk hadir. Kemudian saat perusahaan membagikan laba perusahaan dalam bentuk dividen, kita pun akan ikut menikmatinya sesuai jumlah lembar saham yang kita miliki.
Meskipun berstatus sebagai pemilik perusahaan, tentu jangan bayangkan kita bisa seenaknya datang ke kantor perusahaan lalu minta dilayani layaknya bos. Cukup tahu diri saja, meskipun statusnya sebagai pemilik, tapi kita adalah pemilik saham "paling minoritas".
Lain halnya ketika kita sudah menjadi salah satu pemilik saham mayoritas yang tentu punya hak suara lebih dibandingkan yang lain serta bisa menentukan kebijakan perusahaan.
Pengalaman yang mengasyikkan sebagai pemilik perusahaan adalah saya menjadi lebih peduli dan perhatian terhadap banyak hal, layaknya seorang pemilik bisnis perusahaan.
Kembali lagi kalau misalnya saya punya saham ASII. Secara otomatis saya menjadi perhatian misalnya kapan momen-momen penjualan kendaraan naik atau turun. Atau saat melihat orang beli mobil baru, dalam hati saya akan berkata, "Wah,,perusahaan saya cuan, mudah-mudahan dividen tahun depan meningkat".
Ketiga, mudah dan terjangkau
Bagaimana cara untuk menjadi investor saham? Sangat gampang. Cukup datang ke perusahaan sekuritas dan minta dibuatkan akun saham.
Biayanya pun sangat terjangkau. Pengalaman para investor yang lebih senior, kalau dulu untuk membuat akun saham harus menyediakan uang jutaan rupiah. Sekarang, modal seratus ribu rupiah saja sudah bisa.
Kalau sudah punya akun saham, tinggal setor (top up) dana sesuai kemampuan. Dana itulah yang menjadi modal kita untuk membeli saham.
Nominal harga saham bermacam-macam, mulai dari yang puluhan rupiah sampai puluhan ribu rupiah per lembarnya. Satuan pembeliannya adalah lot yaitu seratus lembar. Misalkan harga saham Rp100 maka dana yang harus kita miliki untuk membeli 1 lotnya adalah Rp100 x 100 (lembar) = Rp.10.000,-. Begitu seterusnya. Gampang dan murah bukan?
Sangat berbeda dengan instrumen investasi yang lain. Misalnya mereka yang ingin investasi properti, maka harus menyediakan uang dalam jumlah besar untuk bisa membeli. Belum lagi harus mempertimbangkan lokasi serta berbagai urusan administrasi/legalitas properti yang akan dibeli.
Atau bayangkan kita ingin membangun dan mengelola sebuah bisnis. Sama saja. Kita harus mengkalkulasi dengan tepat jenis bisnis yang tepat dan menguntungkan, menyediakan modal, mencarikan tempat yang strategis, memikirkan pekerja, memikirkan target/sasaran konsumen dan sebagainya.
Sangat berbeda ketika misalnya kita sudah punya saham perusahaan sebesar Astra International, maka kita tak perlu melakukan apa-apa. Tak usah pusing dengan target penjualan, strategi menghadapi kompetitor, ketersediaan bahan baku, gaji karyawan, dan sebagainya. Biarkan saja manajemen perusahaan dan sistemnya yang bekerja. Â Â
Keempat, cocok untuk kaum rebahan
Seperti yang disampaikan Lo Kheng Hong, hal terbaik yang bisa dilakukan investor sesudah membeli saham perusahaan yang hebat adalah tidur. Ya, kita cukup mempercayakan berjalannya bisnis perusahaan berjalan pada manajemen dan seluruh jajarannya.
Kita tinggal menunggu capaian kinerja yang bisa dihasilkan melalui laporan keuangan baik kuartal, semester, maupun tahunan. Kalau merasa kinerjanya masih sesuai ekspektasi atau bahkan melebihi, maka tinggal lanjut tidur lagi ^.^
Investasi saham memang bisa dikatakan model investasi yang sangat santai. Sehingga kita sering mendengar istilah sleeping share holder alias pemegang saham yang tidur.
Tapi jangan salah. Saat tidur pun, ketika perusahaan itu adalah perusahaan yang hebat, maka ia akan terus menghasilkan keuntungan bagi para pemegang sahamnya. Ini yang menyenangkan dan sepertinya tidak saya temukan di instrumen investasi yang lain.
Sebelum mengenal saham, sebenarnya saya sempat membeli emas batangan dan tanah kavlingan sebagai tabungan sekaligus investasi. Namun belakangan, saya jadi suka membandingkan.
Tanah kavlingan yang bisa saya beli dengan cara mencicil sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu, baru-baru ini iseng saya coba cek harga pasarannya. Ternyata tak jauh berbeda dengan harga yang saya bayarkan.
Memang harganya sudah sedikit lebih mahal, tapi saya kira belum sebanding dengan waktu tunggu yang sudah cukup lama. Tapi mungkin saja, itu salah satunya akibat saya yang kurang tepat memilih lokasi.
Bagaimana dengan emas? Harganya memang selalu naik, tapi menurut saya masih tetap agak lambat. Apalagi tidak ada cashflow yang bisa dihasilkan.
Kenaikan drastis memang sempat terjadi misalnya saat merebaknya wabah Covid-19. Waktu itu saya sempat menjual dan menikmati keuntungan satu kali lipat dari harga pembelian.
Tapi kalau harus menunggu ada muncul wabah lagi baru bisa menikmati kenaikan harga yang drastis, rasanya saya akan lebih memilih harganya tidak usah naik. Bagaimanapun momen merebaknya wabah Covid-19 beberapa waktu lalu sangat menyeramkan dan mengerikan. Â Â Â Â
Sampai sekarang sebenarnya saya masih tetap rutin menyicil beli dan menyimpan emas. Tapi saya tidak lagi menganggapnya sebagai instrumen investasi melainkan sebagai tabungan dan alat berjaga-jaga bila terjadi sesuatu yang mendesak. Bagaimanapun nilai harga emas bisa dikatakan relatif stabil dari waktu ke waktu dan tentu saja mudah dijual. Â
Masing-masing mungkin punya pandangan dan pengalaman yang berbeda. Maka sekali lagi saya memang belum berani mengatakan saham adalah pilihan investasi terbaik. Tetapi dari pengalaman pribadi sampai sejauh ini, saya berani mengatakan bahwa investasi saham memang sangat menyenangkan. Â Â
***
Jambi, 3 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H