Pernyataan nominal "harga" kursi Ketua Umum Golkar itu disampaikan oleh Jusuf Kalla (JK), mantan Wapres sekaligus mantan Ketum partai berlambang pohon beringin tersebut.
JK menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar bertajuk "Pemuda untuk Politik" yang digelar Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
Pernyataan itu bersamaan dengan ramai pemberitaan tentang gejolak yang sedang terjadi di partai Golkar. Tersiar kabar sedang ada upaya dari beberapa pihak (internal partai) yang ingin menggusur Airlangga Hartarto dari posisi ketua umum.
Sepertinya ini agak serius karena nama-nama calon penggantinya bahkan sudah mulai beredar di publik. Sekurang-kurangnya ada tiga nama yang dianggap sebagai kandidat paling layak.
Luhut Panjaitan yang saat ini menjabat sebagai Menko Maritim dan Investasi, Bahlil Lahadalia saat ini Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Bambang Soesatyo yang saat ini menjabat Ketua MPR RI. Â
Golkar partai besar   Â
Angka 600 milliar sebagaimana disampaikan JK, apakah terdengar terlalu mengada-ada? Barangkali kalau pihak-pihak lain yang menyampaikannya, publik takkan heboh dan terlalu ambil pusing.
Sementara mengingat sosok JK dengan latar belakang dan segudang pengalamannya, rasa-rasanya pernyataan itu menjadi sangat layak dipertimbangkan sebagai sebuah kebenaran.
Terlebih lagi reputasi partai Golkar sebagai salah satu partai politik terbesar di republik ini. Bahkan sampai saat ini dalam setiap jajak pendapat yang dilakukan, tingkat keterpilihan partai Golkar di publik masih cukup tinggi. Â
Dalam setiap periode pemerintahan banyak kader partai itu yang berhasil duduk di berbagai kursi penting pemerintahan baik di tingkat daerah maupun pusat, di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Tak heran bila keputusan partai Golkar dalam mendukung koalisi pencalonan capres-cawapres selalu dinantikan karena cukup menentukan arah pertarungan Pilpres.Â
Seperti yang terjadi saat ini. Arah dukungan Golkar di Pilpres 2024 mendatang masih menjadi tanda tanya besar. Sebelumnya sempat muncul wacana pembentukan koalisi besar dengan 5 partai pendukung pemerintah saat ini: Gerindra, PPP, PAN, PKB dan Golkar.
Wacana itu sepertinya sudah bubar di tengah jalan. Diawali PPP yang resmi sudah menyatakan dukungan ke capres pilihan PDI-P, Ganjar Pranowo. Sementara Gerindra santer dikabarkan sudah sepakat berkoalisi dengan PKB. Sementara itu Golkar disebut-sebut sudah nyaman dengan PAN (sebelumnya plus PPP dengan nama Koalisi Indonesia Bersatu).
Wacana pembentukan koalisi sepertinya selalu terbentur pada pemilihan nama cawapres. Masing-masing sepertinya masih coba berhitung. PPP meskipun sudah menyatakan dukungan resmi ke Ganjar Pranowo sebenarnya sambil menawarkan nama Sandiaga Uno sebagai cawapres pendamping.
Koalisi yang dibentuk Gerindra dengan Prabowo Subianto sebagai capres juga sepertinya belum "aman" karena PKB dengan tegas mensyaratkan pembentukan koalisi harus dibarengi dengan pencalonan sang ketua umum, Muhaimin Iskandar sebagai cawapres.
Wacana koalisi yang sempat dibentuk Golkar bersama PAN lebih ruwet lagi pasca ditinggal PPP. Kali ini bukan sekadar menentukan cawapres melainkan juga nama capres yang akan diusung. Sebagaimana diketahui, tokoh pencapresan sepertinya sudah dikunci 3 nama terkuat saja yaitu: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Koalisi perubahan yang digagas Nasdem, Demokrat, dan PKS pun mengalami masalah yang hampir sama. Demokrat dan PKS sepertinya sama-sama ngotot mengajukan nama pendamping Anies Baswedan. Demokrat tentu saja sangat ingin mengajukan nama sang ketua umum, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Tak kunjung diumumkannya nama AHY sebagai cawapres pendamping Anies sudah mulai membuat beberapa petinggi partai Demokrat gerah dan mulai menyampaikan pernyataan-pernyataan dengan nada mengancam akan segera menarik diri dari koalisi.
Jika Demokrat benar-benar keluar dan tidak ada parpol pengganti yang masuk maka otomatis koalisi ini pun akan bubar di tengah jalan karena tidak memenuhi syarat jumlah kursi/suara untuk mengusung pasangan capres-cawapres.
Manuver masing-masing partai memang masih sangat menarik ditunggu. Di tengah sisa waktu yang kian mendesak, mereka dituntut harus segera mengambil keputusan.
Kembali ke partai Golkar. Belakangan partai berlambang beringin ini memang agak bergejolak. Selain soal adanya gerakan yang ingin mengganti Airlangga, belakangan muncul pula suara-suara dari internal partai yang ingin partai tersebut memberikan dukungan pada Capres Prabowo Subianto.
Kemana akhirnya dukungan resmi partai Golkar akan berlabuh, tentu hanya waktu yang akan menjawab. Satu hal yang menarik, sejarah mencatat bahwa Golkar tak pernah punya pengalaman memilih menjadi oposisi pemerintah. Â Â
Dengan kata lain, andaipun kandidat yang diusung Golkar ternyata kalah di Pilpres 2024 nanti, bukan tidak mungkin mereka akan mengulangi pengalamannya dengan berbalik arah merapat ke kubu pemerintah. Â Â Â Â
600 M bila diinvestasikan?
Sebagai seorang warga biasa yang masih menggantungkan pemenuhan biaya hidup keluarga dari gaji bulanan sambil pelan-pelan melunasi cicilan, terus terang saya agak kaget dengan angka yang disebutkan pak JK. 600 miliar cuma biar bisa duduk jadi ketua umum partai? Emang gaji ketua umum partai berapa?
Sebagai orang biasa, untuk sekadar menuliskan angka 600 miliar dengan tepat tanpa kekurangan apalagi kelebihan angka nolnya, mungkin saya harus berulangkali membacanya. Sekali lagi karena nominalnya itu benar-benar besar.
Kalau meminjam istilah sekarang, angka itu buat saya benar-benar di luar nurul dan membuat saya tidak habis fikri.
Baiklah lebih baik saya coba berandai-andai. Bila punya uang sebesar 600 miliar, apa yang akan saya lakukan? Paling utama tentu saja saya tak akan menghabiskannya demi usaha menjadi ketua umum partai politik.
Dengan nominal uang yang sangat besar itu, saya akan lebih memilih menjadikannya sebagai modal buat investasi. Tujuannya adalah keuntungan dari hasil investasi itu yang akan saya gunakan untuk kebutuhan hidup dan kebutuhan lainnya.
Dengan modal sebesar itu, rasa-rasanya menjadi sangat mudah untuk menghasilkan uang yang sangat besar. Tak percaya? Mari kita coba bersimulasi.
Ketika uang itu saya gunakan seluruhnya untuk membeli saham, saya akan mencari saham perusahaan-perusahaan besar yang rutin membagikan dividen setiap tahunnya.
Di bursa saham kita, ada banyak perusahaan yang membagikan dividen secara rutin. Katakanlah saya membeli saham perusahaan yang rutin membagikan dividen dengan yield (imbal hasil) 5 persen saja.
Artinya setiap tahun saya pasti akan menerima dana segar sebesar 5% x 600 milar=30 miliar. Kalau dibagi 12 bulan, maka saya punya dana bulanan untuk dihabiskan sebesar 2,5 miliar. Tanpa saya harus melakukan apa-apa, tanpa harus menjual saham yang saya punya. Ini baru bicara dividen saja, belum potensi keuntungan dari kenaikan harga saham.
Bahkan dengan dividen yang sangat mini katakanlah sebesar 1 persen saja, saya masih akan mendapatkan dana segar tiap tahunnya sebesar 6 miliar. Bila dibagi 12 bulan, maka saya punya dana bulanan sebesar 500 juta.
Padahal di bursa saham, ada saham-saham tertentu yang bisa membagikan dividen diatas 10 persen. Saham-saham perusahaan batubara misalnya yang kebetulan sedang berada pada siklus baiknya, tahun ini bisa memberi dividen jumbo kepada para pemegang sahamnya. Rata-rata diatas 20 hingga 30 persen. Â
Tahun ini saya juga punya pengalaman menarik ketika salah satu saham perusahaan saya yang bergerak di sektor konstruksi membuat kejutan. Jika biasanya mereka memberikan dividen tahunan pada kisaran 6-8 persen, tahun ini justru naik sampai 4 kali lipat. Artinya saya dapat dividen dengan imbal hasil nyaris 30 persen. Kejutan yang sangat menyenangkan.
Angka 600 miliar itu bagi saya sungguh luar biasa banyaknya, terlebih lagi bila dijadikan modal investasi.
Andaipun masih ada yang ragu dan belum paham tentang investasi saham, dana sebesar itu juga bisa diinvestasikan pada instrumen investasi yang lain dan sepertinya paling aman misalnya dengan membeli surat utang atau obligasi yang diterbitkan pemerintah.
Imbal hasil yang ditawarkan pun cukup lumayan, rata-rata sekitar 5-6 persen per tahun. Soal keamanan dana investasi? Bisa dikatakan 100 persen aman karena yang menjamin langsung adalah pemerintah itu sendiri.
Lebih kurang seperti itu yang langsung muncul dalam benak saya, seandainya punya uang 600 miliar. Dengan hasil keuntungan rutin investasi tiap bulan senilai miliaran rupiah tentu saya akan bisa melakukan banyak hal, lebih dari sekadar membiayai hidup keluarga saja. Mungkin saya akan lebih leluasa bisa berbagi rezeki dan membantu orang-orang yang membutuhkan.
Angan-angan saya ini mungkin terlalu sederhana karena memang pada dasarnya belum pernah melihat apalagi punya uang sebanyak itu. Sementara para politisi mungkin punya tujuan berbeda dan pastinya sangat mulia.
Berkorban uang sampai ratusan miliar baginya barangkali belumlah apa-apa dan biasa-biasa saja. Terlebih lagi saat menjadi ketua umum partai, maka ia akan bisa memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang sangat banyak sekaligus mengabdi pada nusa dan bangsa. Cieeee....yang mau mengabdi ^.^
***
Jambi, 2 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H