Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Antara Tetap Kaya, Mendadak Kaya, dan Terlihat Kaya

8 April 2023   08:12 Diperbarui: 10 April 2023   08:03 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi miliarder, orang kaya (Thinkstock via Kompas.com)

Pernahkah kita berpikir, mengapa dalam rilis daftar orang-orang terkaya di Indonesia atau dunia kelihatannya jarang ada perubahan drastis yang terjadi?

Dari tahun ke tahun, nama-nama yang disebut sepertinya itu-itu saja. Andaipun ada pergantian antara yang masuk dan keluar jumlahnya paling satu atau dua.

Kita ambil contoh nama Hartono bersaudara, Anthony Salim, Chairul Tanjung di Indonesia serta Bill Gates, Warren Buffett, Elon Musk di level dunia. Nama mereka hampir selalu masuk dalam jajaran orang terkaya.

Belum pernah kita dengar misalnya, nama mereka tiba-tiba terlempar dari sana atau yang lebih parah ada indikasi mereka sedang kesulitan keuangan dan sedang menuju kebangkrutan.

Mengapa mereka bisa bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama? Apakah memang semata-mata karena jumlah kekayaannya yang sudah luar biasa, sehingga sulit untuk ditandingi orang lain? Atau ada alasan lain.

Hal yang sangat mengagumkan, orang-orang terkaya sepertinya memang punya kemampuan istimewa untuk bisa mempertahankan kekayaannya dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Kalau dipikir-pikir lebih dalam sebenarnya mereka tak sekadar bertahan melainkan terus berusaha dan menciptakan sumber penghasilan yang baru. Faktanya, jumlah kekayaan mereka pun selalu mengalami kenaikan.

Meski jumlah kekayaannya sudah sangat luar biasa dan sebagian terbilang sudah cukup berumur, mereka masih tetap bersemangat untuk menumbuhkan jumlah kekayaannya.

Warren Buffett yang kita kenal, saat ini sudah berumur lebih dari 90 tahun. Namun sampai saat ini, ia masih terus berinvestasi. Pengalaman dan petuah darinya masih selalu dinantikan sekaligus dijadikan pegangan bagi para investor saham di seluruh dunia.

Lo Kheng Hong, triliuner saham dari Indonesia pada satu kesempatan mendapat pertanyaan, sampai kapan dirinya akan berinvestasi saham? Apakah belum berpikir pensiun? Ia menjawab, dirinya baru akan pensiun saat dirinya sudah meninggal dunia.

Pengusaha sekaligus investor sukses lainnya semisal Elon Musk, Sandiaga Uno, Hermanto Tanoko, Anthony Salim, dan lainnya bisa kita telusuri di berbagai media, ternyata melakukan hal yang sama.

Anthony Salim, salah satu orang terkaya di Indonesia (Kontan/Cheppy A Muchlis)
Anthony Salim, salah satu orang terkaya di Indonesia (Kontan/Cheppy A Muchlis)

Mereka tak pernah berhenti melakukan upaya untuk mengembangkan kekayaannya. Berbagai aksi terus dilakukan, entah menciptakan lini bisnis yang baru, melakukan akuisisi bisnis yang lain dengan cara melakukan pembelian saham suatu perusahaan dalam jumlah yang besar dan sebagainya.

Padahal kalau mau dipikir-pikir, tanpa harus berepot-repot melakukan itu semua, jumlah kekayaan yang mereka miliki sudah sangat-sangat berlebih untuk sekadar membiayai hidupnya.

Tanpa harus melakukan apapun, mereka sudah dipastikan punya penghasilan miliaran bahkan mungkin puluhan sampai ratusan miliar rupiah per tahun hanya dari dividen perusahaan yang dimiliki.

Apakah itu berarti mereka yang disebut sebagai orang terkaya adalah orang-orang serakah yang tak pandai bersyukur, tak mengenal arti kata cukup dalam hidupnya, serta tak peduli nasib hidup orang lain?

Ternyata tidak juga. Kebanyakan diantara mereka dikenal sebagai orang-orang dermawan yang gemar mendonasikan uangnya dalam jumlah sangat besar untuk kegiatan amal, kemanusiaan, membantu orang-orang yang dalam kesusahan. Informasi mengenai hal tersebut bisa kita cari dan temukan di berbagai media.

Mendadak kaya

Pada sisi lain, ada kisah tentang orang-orang yang sempat memiliki uang/kekayaan dalam jumlah besar namun sayangnya tak bisa bertahan lama.

Mike Tyson, seorang petinju profesional yang mendunia. Pada masa kejayaannya berhasil menjadi juara dunia tinju hingga berbagai penghargaan berhasil diraihnya. Harta kekayaannya pun melonjak tinggi, diperkirakan sampai mencapai US$ 400 juta atau setara Rp 6 T.

Namun sejarah hidupnya berkata lain. Tyson juga dikenal gemar bergaya hidup mewah dan berfoya-foya. Tak berapa lama, harta kekayaannya habis bahkan dikabarkan ia mengalami kesulitan keuangan, hingga terpaksa berutang.

Tyson yang di masa kecil mengalami kehidupan yang sulit dan miskin, kemudian sempat memiliki kekayaan dalam jumlah besar, akhirnya kembali terperosok ke jurang kemiskinan.

Mike Tyson (The sun via Kompas.com)
Mike Tyson (The sun via Kompas.com)

Lo Kheng Hong sering menceritakan kisah hidup Tyson ini dalam berbagai kelas edukasi saham. Ia menyebut kisah Tyson ini ibarat siklus hidup dari gembel kembali ke gembel.

Michal Carroll punya kisah yang hampir sama namun bisa dibilang lebih tragis lagi. Carroll, warga biasa asal Inggris yang bekerja sebagai pengemas biskuit. Setiap minggunya ia mendapat upah sebesar 204 poundsterling atau sekitar Rp 3 juta.

Tahun 2002, Carroll ibarat mendapat durian runtuh. Ia menang hadiah lotre sebesar Rp 223 miliar. Apa yang dilakukan Carroll? Hidupnya berubah drastis.

Ia menghabiskan uangnya untuk membeli rumah mewah, mobil, menyewa helikopter dan rutin menyelenggarakan pesta pora di rumahnya. Kehidupan Carroll tak jauh dari urusan minuman keras, obat-obatan, dan seks bebas.

Tak menunggu waktu lama, harta kekayaannya pun habis dan ia jatuh miskin. Akhirnya, ia terpaksa menjadi tukang sampah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kisah hidup seperti Carroll yang mendadak kaya gara-gara menang undian/lotre mungkin sering kita dengar. Sayangnya akhir perjalanan hidup mereka pun mirip. Tak mampu mengatur dan mengelola kekayaannya, akhirnya malah kembali jatuh miskin.

Dalam konteks yang agak berbeda, saya jadi teringat kisah keluarga jauh dari pihak istri saya yang tinggal di suatu daerah. Suatu ketika, ada program pemerintah yang ingin membangun jalur kereta api dan kebetulan rumah mereka masuk dalam jalur tersebut.

Pihak pemerintah kemudian datang dan melakukan negosiasi. Singkat cerita, dicapailah kesepakatan. Keluarga kami itu mendapat kompensasi berupa uang ganti rugi karena rumahnya akan dirobohkan. Ia mendapat uang miliaran rupiah.

Setelah itu yang kami tahu dan lihat sendiri, gaya hidupnya kemudian berubah drastis layaknya gaya "orang kaya baru".

Dua tahun berselang dan sampai hari ini, ia sudah sering kesulitan uang bahkan untuk menjalankan usaha yang bisa menghidupinya sehari-hari. Uang miliaran yang sempat dimilikinya, hilang nyaris tak berbekas.

Sekitar dua tahun lalu desa Sumurgeneng, kabupaten Tuban, Jawa Timur juga sempat viral di media. Penduduk warga di desa tersebut mendadak jadi miliarder juga karena hasil uang kompensasi.

Kisahnya menjadi agak lucu karena mereka berlomba membeli mobil baru, tak peduli mereka bisa mengendarainya atau tidak. Atau ketika akhirnya mereka jadi bingung sendiri karena tak punya tempat untuk memarkirkan mobilnya. Kelanjutan kisah hidup mereka pun tentu sudah bisa ditebak.

Terlihat kaya 

Masalah lain yang sering terjadi belakangan ini adalah dorongan keinginan sebagian besar manusia untuk tampil dan terlihat kaya. Tak peduli entah ia benar-benar kaya atau bukan, keinginan mencitrakan diri sebagai orang kaya sepertinya sudah menjadi "virus" belakangan ini.

Ada orang yang gemar memamerkan dirinya saat sedang liburan, pesta atau sekadar "nongkrong" di tempat mewah. Ada yang memamerkan dirinya saat mengendarai kendaraan mewah. Ada yang menggunakan tas, sepatu, jam tangan, atau aksesori lainnya dengan harga ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Entah apa yang sebenarnya ingin dicari. Apakah sekadar pengakuan dan pujian dari orang lain? Faktanya, sudah banyak kejadian ketika aksi pamer itu menjadi sorotan, berbagai "borok" pun menjadi jelas kelihatan. Bukankah ini yang terjadi dan sedang ramai belakangan ini?

Hal yang sangat berkebalikan memang dengan kebanyakan gaya hidup para triliuner yang justru gemar mempraktikkan bahkan menganjurkan gaya hidup sederhana dan tidak pamer.

Lo Kheng Hong sering menasihatkan, "Tujuan kita paling penting adalah bagaimana caranya menjadi kaya, bukan terlihat kaya"

***

Jambi, 8 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun