Dua tahun berselang dan sampai hari ini, ia sudah sering kesulitan uang bahkan untuk menjalankan usaha yang bisa menghidupinya sehari-hari. Uang miliaran yang sempat dimilikinya, hilang nyaris tak berbekas.
Sekitar dua tahun lalu desa Sumurgeneng, kabupaten Tuban, Jawa Timur juga sempat viral di media. Penduduk warga di desa tersebut mendadak jadi miliarder juga karena hasil uang kompensasi.
Kisahnya menjadi agak lucu karena mereka berlomba membeli mobil baru, tak peduli mereka bisa mengendarainya atau tidak. Atau ketika akhirnya mereka jadi bingung sendiri karena tak punya tempat untuk memarkirkan mobilnya. Kelanjutan kisah hidup mereka pun tentu sudah bisa ditebak.
Terlihat kayaÂ
Masalah lain yang sering terjadi belakangan ini adalah dorongan keinginan sebagian besar manusia untuk tampil dan terlihat kaya. Tak peduli entah ia benar-benar kaya atau bukan, keinginan mencitrakan diri sebagai orang kaya sepertinya sudah menjadi "virus" belakangan ini.
Ada orang yang gemar memamerkan dirinya saat sedang liburan, pesta atau sekadar "nongkrong" di tempat mewah. Ada yang memamerkan dirinya saat mengendarai kendaraan mewah. Ada yang menggunakan tas, sepatu, jam tangan, atau aksesori lainnya dengan harga ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Entah apa yang sebenarnya ingin dicari. Apakah sekadar pengakuan dan pujian dari orang lain? Faktanya, sudah banyak kejadian ketika aksi pamer itu menjadi sorotan, berbagai "borok" pun menjadi jelas kelihatan. Bukankah ini yang terjadi dan sedang ramai belakangan ini?
Hal yang sangat berkebalikan memang dengan kebanyakan gaya hidup para triliuner yang justru gemar mempraktikkan bahkan menganjurkan gaya hidup sederhana dan tidak pamer.
Lo Kheng Hong sering menasihatkan, "Tujuan kita paling penting adalah bagaimana caranya menjadi kaya, bukan terlihat kaya"
***
Jambi, 8 April 2023