Pertama, selama dua periode pemerintahan Jokowi, jabatan Menpora secara konsisten selalu diisi kader partai politik.Â
Jika pada periode pertama (2014-2019), jabatan Menpora diserahkan ke partai PKB, pada periode kedua (2019-2024) ini jabatan itu menjadi jatah partai Golkar.
Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, Menpora dijabat oleh politisi PKB Imam Nahrawi dan sempat dilanjutkan beberapa saat oleh Hanif Dhakiri. Pada periode kedua, Jokowi menunjuk Zainudin Amali, politisi Golkar.
Penunjukan Zainudin Amali sempat mendapat sorotan publik. Sosoknya dinilai tak merepresentasikan "pemuda" sebagai tupoksi yang harus dikerjakan. Belum lagi soal latar belakangnya yang dipertanyakan tak punya rekam jejak bersinggungan dengan olahraga.
Sampai muncul tudingan jabatan Menpora hanya sebagai politik dagang sapi, balas jasa politik, atau sekadar bagi-bagi kue jabatan semata.
Kedua, masa jabatan yang relatif singkat.Â
Dito hanya akan menduduki jabatan Menpora tak kurang dari 2 tahun saja, mengingat statusnya sebagai pengganti di tengah jalan. Entah kalau misalnya, ia masih dipertahankan oleh pemerintahan periode mendatang.
Ketiga, Dito menduduki jabatan dalam situasi yang kurang mengenakkan.Â
Pelantikan Dito sebagai Menpora masih dibayang-bayangi kekecewaan mendalam publik akibat pembatalan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Sampai saat ini, publik masih sulit "move on" dari sesuatu yang menjadi fakta tersebut. Aksi saling tuding, saling menyalahkan masih terjadi.
Tantangan yang dihadapi Dito juga masih sama dengan pejabat sebelumnya. Publik olahraga di tanah air masih haus prestasi khususnya di bidang olahraga. Selain badminton, nyaris tak ada cabang olahraga lain yang dianggap bisa menorehkan prestasi. Ini tentu menjadi pekerjaan yang sangat berat.