Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pemerintah "Cuan" Rp 40 T Hanya dari Dividen 3 Bank

15 Maret 2023   23:32 Diperbarui: 15 Maret 2023   23:35 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga bank "raksasa" berstatus BUMN menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) dalam tiga hari berturut-turut. Bank Rakyat Indonesia (BBRI) tanggal 13 Maret, disusul hari berikutnya secara berurutan Bank Mandiri (BMRI), dan Bank Negara Indonesia (BBNI).

Apa hasil dan keputusan yang paling ditunggu para investor saham dari RUPST tersebut? Ya, tentu saja keputusan pembagian dividen.

Bukan soal dibagikan atau tidak karena secara data historis minimal 5 (lima) tahun terakhir, ketiga bank tersebut selalu konsisten melakukannya. Badai pandemi Covid-19 yang berlangsung selama dua tahun bahkan tak menjadi penghalang.

Maka jumlah nominalnya lah yang sebenarnya paling dinanti-nantikan para investor. Apakah masih tetap sama seperti setahun sebelumnya, berkurang, atau justru bertambah.    

Keputusan telah diambil dan para investor bisa tersenyum puas. Nominal dividen yang dibagikan ternyata naik drastis.

Bank BRI membagikan dividen total sebesar 85 % dari laba bersih tahun 2022 atau senilai Rp 43,5 T, setara Rp 288 per lembar saham. Total nilai dividen tersebut sudah termasuk dividen interim sebesar Rp 8,6 triliun yang telah dibagikan ke para investor bulan Januari lalu. Tahun 2022 lalu, dividen yang dibagikan ke investor "hanya" sebesar Rp 174 per lembar saham.  

Seolah tak mau kalah, Bank Mandiri juga melakukan hal serupa. Rapat memutuskan pembagian dividen dengan total Rp 24,7 T setara Rp 529,34 per lembar saham. Tahun sebelumnya, nominal dividen yang dibagikan sebesar Rp 360,63 per lembar saham.            

Berikutnya Bank BNI telah memutuskan pembagian dividen sebesar Rp 7.32 T atau 40 % dari total laba bersih yang diraih tahun 2022. Dengan demikian nominal per lembar sahamnya Rp 392,78. 

Bandingkan dengan dividen tahun sebelumnya Rp 146,29 per lembar saham. Artinya ada kenaikan lebih dari dua kali lipat.

Para pemegang saham tiga bank diatas tentu sudah bisa berhitung, berapa jumlah dana yang akan diperoleh. Hitungannya sangat sederhana; nominal dividen per lembar saham yang sudah ditetapkan kemudia dikali jumlah lembar saham yang dimiliki.

BUMN Sumber "Cuan"?

Sebagai BUMN maka pemegang saham terbesar (mayoritas) tiga bank diatas adalah Negara (Pemerintah) Republik Indonesia. Di Bank BRI, pemerintah memegang 53 % saham. Bank Mandiri sebesar 52 %, dan Bank BNI sebesar 60 %. Artinya, pemerintah akan selalu menjadi penerima "cuan" paling banyak dari pembagian dividen.

Tahun ini, pemerintah akan menerima dividen sebesar Rp 23,15 T dari Bank BRI, Rp 12,83 T dari Bank Mandiri, dan Rp 4,39 T dari Bank BNI. Total akan ada dana segar sebesar Rp 40,38 T yang masuk ke kas pemerintah.

Itu baru dari tiga BUMN. Pemerintah masih berpeluang menerima dividen dari beberapa perusahaan BUMN lain yang juga sudah tercatat (listing) di Bursa Efek Indonesia.

Sebut saja PT.Telkom (TLKM), PT.Jasa Marga (JSMR), PT.Aneka Tambang (ANTM), PT.Timah (TINS), PT.Perusahaan Gas Negara (PGAS), PT.Bukit Asam (PTBA), PT.Kimia Farma (KAEF), dan lainnya.

Secara historis, perusahaan-perusahaan diatas juga terbilang konsisten menghasilkan laba dan tentunya membagikan dividen.     

Apakah itu berarti semua BUMN  adalah penghasil "cuan" bagi pemerintah? Mungkin kita sudah tahu jawabannya. Kita coba ambil contoh BUMN yang ada di bursa saham kita, totalnya 27 (termasuk 2 BUMD).

Kita akan menemukan fakta beberapa perusahaan yang bukannya menjadi sumber "cuan", malah menjadi beban bagi pemerintah. Perusahaan yang lebih sering rugi daripada untung, lalu akhirnya menambah hutang dari tahun-tahun sampai jumlahnya pun menggunung.

Perusahaan BUMN di sektor konstruksi misalnya. Meski menyandang nama besar dan bahkan mungkin saat ini pun sedang mengerjakan proyek-proyek besar, tak bisa menghilangkan statusnya sebagai perusahaan dengan hutang puluhan bahkan ratusan triliun rupiah. Laba yang dihasilkan dari aktivitas operasionalnya bahkan diragukan bisa membayar seluruh hutang-hutangnya.    

Satu lagi perusahaan BUMN fenomenal adalah PT.Garuda Indonesia (GIAA). Maskapai kebanggaan negeri yang terkenal dengan harga tiket penerbangan domestik paling mahal dibandingkan maskapai lainnya.

Selalu ada kebanggaan tersendiri bagi penumpang yang bisa terbang bersama maskapai ini. Harus diakui juga bahwa layanan yang diberikan ke konsumen memang cukup baik, terbukti dari banyaknya penghargaan yang sudah diterima.

Hal yang sangat mengherankan bila memeriksa kondisi keuangannya. Data per bulan Juni 2022, hutang perusahaan ini sudah mencapai Rp 142 T. Akhir tahun 2022, Menteri BUMN mengklaim bahwa hutang Garuda tinggal separuhnya. Andaipun benar, itu masih tetap menunjukkan Garuda sebagai perusahaan yang tidak ideal karena punya hutang yang besar.

Terhadap perusahaan-perusahaan BUMN "bermasalah" tersebut, tentu saja pemerintah selaku pemegang saham mayoritas tidak bisa berpangku tangan. Mau tak mau, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasi persoalan. Berkaitan dengan hutang, pemerintah mau tak mau harus "setor uang" untuk membantu perusahaan tersebut keluar dari permasalahannya.

Inilah faktanya. Di satu sisi, ada beberapa perusahaan BUMN yang rutin menyetor dividen ke negara, namun di sisi lain ada pula perusahaan yang malah memaksa pemerintah harus pusing dan tentu keluar uang untuk menyelamatkan perusahaan dari potensi kebangkrutan.

Bagi investor individu dengan modal terbatas seperti saya, hal ini mungkin bisa jadi pembelajaran penting. Betapa pentingnya mempelajari dan mengerti prospek bisnis perusahaan yang sahamnya akan kita beli.

Bayangkan bila kita ternyata salah memilih, akhirnya bukan hanya dividen yang tak dapat diraih, uang kita pun bisa hilang karena harga sahamnya yang terus turun.

Faktanya kita bukanlah pemilik modal besar seperti Chairul Tanjung (CT) yang meski uangnya masih "nyangkut" triliunan rupiah di saham Garuda Indonesia tapi masih bisa tenang-tenang saja.      

***

Jambi, 15 Maret 2023      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun