Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Dividen Trap" dalam Dunia Saham dan Cara Menghindarinya

5 Maret 2023   15:58 Diperbarui: 7 Maret 2023   13:09 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi saham (Kompas.com/Ade Miranti Karunia Sari)

Pada tulisan sebelumnya kita sudah berbicara tentang dividen dan hal-hal baik tentangnya (DISINI), sekarang kita akan coba mengulik sisi sebaliknya yaitu mengenai jebakan dividen alias "dividen trap". Kebetulan penulis pernah mengalaminya. 

Saya yakin banyak investor pemula juga pernah punya pengalaman yang sama. Pengalaman yang tidak mengenakkan berkaitan dengan dividen. Apakah itu berarti dividen berbahaya sehingga harus dihindari?

Pengalaman yang cukup membekas itu saya ingat terjadi saat saya baru beberapa bulan terjun di pasar modal (menjadi investor saham). Sebelumnya saya memang sudah tahu bahwa dividen merupakan salah satu keuntungan menjadi investor.

Kebetulan saat itu keluar berita yang menyebutkan perusahaan PT. Mitra Pinasthika Mustika (MPMX) akan membagikan dividen "jumbo" dengan nominal Rp480 per lembar.

Angka yang tergolong fantastis mengingat harga sahamya waktu itu hanya sekitar Rp1.200 per lembar. Dengan demikian, imbal hasil yang ditawarkan dari dividen saja nyaris mencapai 30 %. Bukankah ini berarti peluang cuan dalam waktu singkat?

Otak saya langsung bekerja. Saya berpikir, ini pasti kesempatan besar bahkan langka. Dengan modal yang masih tersisa, saya memutuskan membeli sahamnya dengan kisaran harga Rp1.410 per lembar. Saya berpikir dengan harga pembelian "semahal" itu pun hitung-hitungannya saya masih akan tetap dapat untung yang lumayan dan sekali lagi, untung dalam waktu singkat.

Saya juga sudah membuat rencana akan segera keluar (menjual) sahamnya setelah periode pencatatan yang berhak menerima dividen (cum date) selesai. Saking yakinnya saat itu, saya bahkan menawarkan ke adik saya untuk ikut "menanamkan" uangnya dan kebetulan direspon dengan baik.

Waktu berjalan dan akhirnya periode pencatatan yang berhak menerima dividen telah usai. Keesokan harinya jam 9 pagi, tepat saat pembukaan jam bursa, saya cepat-cepat membuka aplikasi sekuritas dan siap-siap untuk segera menjual saham tersebut.

Apa yang terjadi? Saya kaget ketika melihat harga saham perusahaan tersebut langsung melorot tajam sampai menyentuh batas terbawah. Saya bahkan belum sempat memasang perintah "SELL" pada saham yang saya punya. Sampai jam penutupan bursa (15.30 WIB) saat itu, saya masih belum bisa menjualnya karena memang tidak ada antrian yang mau membeli.

Saya mulai khawatir. Saya coba mencari penjelasan mengenai hal itu. Akhirnya di media online saya menemukan artikel seorang investor yang tentunya lebih senior menjelaskan tentang istilah "dividen trap". Wah, berarti saya kena jebakan nih.

Saya masih mencoba berpikiran positif. Jika hari pertama belum berhasil menjual, mungkin hari kedua bisa. Namun saya keliru dan itu tidak terjadi. Harga sahamnya mengalami penurunan sampai berhari-hari.

Saya ingat waktu itu harga sahamnya sampai menyentuh kisaran harga Rp800 per lembar. Artinya jika saya menjual di harga tersebut dibandingkan harga pembelian sebelumnya maka saya akan mengalami kerugian lebih dari 40 %.

Pikiran saya jadi tak tenang. Timbul rasa penyesalan. Saya masih sempat menunggu beberapa hari dengan harapan harga sahamnya kembali naik minimal untuk memangkas nilai kerugian yang akan direalisasikan. Penantian itu memakan waktu sampai sebulan.

Akhirnya karena sudah tidak sabar lagi, saya memutuskan menjual di kisaran harga Rp820 per lembar. Saya benar-benar harus menanggung kerugian dan nilai dividen yang masuk ke rekening pun seakan tiada artinya karena tak cukup untuk membayar kerugian itu. Niatnya untung, malah jadi buntung.

Pembelajaran berharga

Pengalaman tersebut sangat membekas dalam ingatan saya sampai sekarang. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa dan siapa yang salah? Benarkah perusahaan itu memang dengan sengaja memasang jebakan untuk memerangkap para investor?

Setelah saya merenung lebih dalam, saya berkesimpulan, ternyata tidak ada yang salah dengan dividen. Toh, sejak awal tidak pernah ada yang membujuk apalagi memaksa saya untuk membeli saham perusahaan tersebut.

Sehingga masalahnya justru berasal dari diri saya sendiri. Terlalu percaya diri, arogan dan merasa diri sudah lebih pintar dari orang lain. Dari pengalaman berharga tersebut akhirnya saya mempelajari beberapa hal sekaligus mungkin ini bisa menjadi cara untuk mengindari jebakan dividen.

Pertama, terus belajar mengenali lebih dalam seluk beluk dividen.

Kita harus tahu fakta dan kebiasaan-kebiasaan yang lazim di pasar saham.

Pasca pengumuman rencana pembagian dividen muncul di media massa, biasanya harga saham perusahaan itu cenderung naik. Tentu saja karena para investor berlomba membeli.

Sebaliknya saat selesai periode pencatatan yang berhak menerima dividen, harga sahamnya akan turun. Saat itu para investor sudah berbalik berlomba untuk keluar (menjual).

Historis perusahaan dalam membagikan dividen juga penting untuk dipelajari. Perusahaan yang secara konsisten membagi dividen dengan nilai nominal yang tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun (naik atau turun), maka biasanya penurunan harga sahamnya setelah periode cum date tidak akan terlalu dalam. Dalam hal ini, bisa dikatakan kita lebih "aman". 

Namun pada perusahaan yang tiba-tiba saja membuat kebijakan membagikan dividen dengan angka fantastis dan itu jelas-jelas di luar kebiasaannya, sebaiknya kita harus lebih berhati-hati. Akan lebih bijak untuk menahan diri sambil mempelajari lebih dalam. Jangan terburu-buru mengambil keputusan.

Kedua, jangan membeli saham hanya sekadar untuk dividen.

Mental paling baik untuk dimiliki seorang investor saham adalah kita harus benar-benar kenal dan yakin akan masa depan perusahaan yang akan kita beli sahamnya.

Warren Buffett (Pixabay via Kompas.com)
Warren Buffett (Pixabay via Kompas.com)

Kita harus punya keyakinan yang kuat bahwa perusahaan tersebut punya alasan untuk terus bertumbuh bahkan sampai puluhan tahun mendatang. Sehingga selalu cari dan belilah saham perusahaan terbaik yang punya model bisnis yang baik sehingga mampu untuk terus bertumbuh dan menghasilkan laba.

Kita bisa belajar dari investor kenamaan dunia, Warren Buffett. Ia berhasil menemukan perusahaan Coca Cola dan membelinya tahun 1988. Sampai sekarang ternyata Buffet masih terus menyimpannya dan belum pernah menjual. Artinya sudah 35 tahun. Nilai sahamnya tentu sudah naik berkali lipat plus dividen yang didapatkannya. 

Ketiga, tetap sabar, rendah hati dan selalu gunakan akal sehat.

Salah satu pelajaran paling berat menjadi investor saham adalah mengendalikan emosi. Rasanya butuh bertahun-tahun untuk mempelajarinya. Belajar menahan diri untuk tidak ikut-ikutan dalam euforia pasar.

Ketika ada berita mengenai perusahaan yang akan membagikan dividen, sikap kita tidak usah panik. Jangan takut seolah akan "ketinggalan kereta" meraup cuan. Saat akan membeli saham, selalu tanyakan dalam diri, "Apakah kita yakin sudah mengenal dengan baik model bisnis perusahaan itu dan apakah kita yakin itu perusahaan bagus yang mampu terus bertumbuh menghasilkan laba?"

Dengan tetap menjaga kewarasan seperti itu, mudah-mudahan kita tidak akan mudah terombang-ambing apalagi sampai terjebak dalam keriuhan pasar saham dengan segala kompleksitasnya.

***

Jambi, 5 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun