Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Peranku sebagai Aparat Birokrasi; Membuat Konsep Net-Zero Emissions Membumi

24 Oktober 2021   22:08 Diperbarui: 24 Oktober 2021   22:49 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan CSR Indika Energy (Foto: indikaenergy.co.id)

Saya ingat saat masih kecil dan duduk di pendidikan dasar, istilah-istilah berkaitan dengan lingkungan; perubahan iklim, polusi udara, pemanasan global, emisi karbon, gas rumah kaca, es di kutub utara yang mencair, deforestasi dan kebakaran hutan, dan lain-lain sebenarnya sudah sering terdengar di telinga.

Harus diakui bahwa saat itu seringkali saya tak terlalu memahami konsep-konsep dimaksud ditambah lagi dengan istilah/bahasa asing yang digunakan; global warming, climate change, greenhouse effect dan sebagainya.

Meskipun demikian tentu saja saya senang dan ikut kegiatan-kegiatan yang katanya berkaitan itu misalnya dengan gotong royong menjaga kebersihan sekolah atau lingkungan, tidak membakar sampah, serta menanam bibit pohon. Apalagi kalau itu dilakukan bersama teman-teman yang lain. Ibaratnya, kami bisa bermain sambil menyelamatkan bumi.  

Ya, menyelamatkan bumi dari kerusakan yang lebih parah bahkan kehancuran. Saat itu sering digambarkan bahwa bila tidak segera dicegah, maka bumi tempat kita berpijak ini akan semakin panas sampai-sampai kita tidak bisa lagi tinggal di dalamnya. Dan bila mendengar ada berita bencana seperti kekeringan, banjir dan longsor, dikatakan bahwa itu adalah ciri-ciri alias bukti nyata bahwa bumi sudah semakin rusak.

Ketika upaya "penyelamatan bumi" yang ternyata sudah kita gaungkan bahkan lakukan sejak lama, selama bertahun-tahun, apakah bumi kita yang sekarang memang sudah semakin baik? Jika tidak, lalu apa yang salah dan bagaimana kita bisa memperbaikinya?    

Target Net Zero Emissions (NZE)

Belakangan, konsep Net-Zero Emissions (NZE) ramai dibincangkan di ruang publik. Istilah baru namun ternyata masih tetap selaras dengan ide/konsep penyelamatan lingkungan yang telah kita kenal sebelumnya.

Konsep Net-Zero Emissions (NZE) atau nol emisi karbon sedang menjadi tren global. Indonesia pun sudah ikut mencanangkan komitmen akan mampu mewujudkannya selambat-lambatnya tahun 2060 mendatang. Sepuluh tahun lebih lambat dari target dunia internasional yang sudah berkomitmen harus mencapainya tahun 2050. 

Mengapa pemerintah terkesan pesimis (mungkin realistis?) dalam menetapkan tahun pencapaian NZE tersebut sampai-sampai harus molor sepuluh tahun dari komitmen global? Tentu saja kita berharap pemerintah memang sudah punya hitung-hitungan sendiri berikut program dan rencana aksi yang akan dilakukan secara konsisten dan terus menerus ke depannya.

Untuk mencapai NZE memang butuh usaha ekstra karena banyak tantangan berikut resiko yang harus dihadapi. Mulai dari biaya yang tinggi, kebutuhan teknologi yang mutakhir, SDM yang mumpuni, serta peningkatan kesadaran masyarakat untuk bertransisi ke produk-produk ramah lingkungan.

Bagaimanapun, pemerintah sudah berkomitmen dan telah mengeluarkan kebijakan pembangunan rendah karbon yang diterapkan di berbagai sektor, salah satunya sektor energi seperti penurunan intensitas energi (Efisiensi Energi), pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

Bicara soal target waktu, PT. Indika Energy, Tbk (kode saham di bursa: INDY), perusahaan publik bergerak di sektor batubara ini memberikan contoh menarik. Manajemen perusahaan menegaskan, Indika Energy akan berinvestasi pada sektor energi terbarukan, teknologi digital, kendaraan listrik, nature-based solutions dan bisnis berkelanjutan lainnya sebagai bagian dari transisi dan proses diversifikasi.

Kegiatan CSR Indika Energy (Foto: indikaenergy.co.id)
Kegiatan CSR Indika Energy (Foto: indikaenergy.co.id)

Bahkan saat menerbitkan obligasi pada 2020, perusahaan sudah berani membuat komitmen penting kepada para investor. Disampaikan bahwa pada tahun 2025 mendatang, setidaknya 50 persen pendapatan perusahaan akan diperoleh dari non batu bara. Kita tahu, komoditas berikut industri batu bara memang acapkali dituding sebagai biang kerok terjadinya masalah pemanasan global.

Di sektor energi, Indika Energy mengandalkan anak usahanya, Kideco, yang sudah memasok batu bara bersih ramah lingkungan untuk pembangkit listrik tenaga uap sebagai kunci penggerak roda ekonomi masyarakat Indonesia.

Batu bara yang ditambang Kideco bahkan konon kabarnya sudah diakui secara global sebagai salah satu golongan batu bara terbersih karena kandungan sulfurnya yang sangat rendah yaitu 0,1 persen serta kadar abu yang rendah sebesar 2,5 persen.

Aparat birokrasi 

Sehari-hari saya bekerja di salah satu UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang salah satu tugas utamanya berkaitan dengan rehabilitasi hutan dan lahan. Bila diringkas secara sederhana, program dan kegiatan yang kami lakukan adalah melaksanakan penanaman pohon di lokasi-lokasi yang terindikasi perlu dilakukan rehabilitasi dengan cara menanam pohon baik di dalam dan luar kawasan hutan. Kegiatan ini tentu saja dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di desa sekitar lokasi.

Berbagai pengalaman langsung di lapangan sudah saya rasakan. Ada kegiatan yang berhasil dan membuat kita lega serta bangga. Namun ada pula yang tidak sesuai harapan alias bisa dikatakan gagal dan pastinya membuat kami kecewa.

Kegiatan peninjauan lokasi (Dokpri)
Kegiatan peninjauan lokasi (Dokpri)

Proses dan dinamika di lapangan yang terjadi bersama masyarakat ternyata memang sangat menarik. Ada kalanya, tawaran program/kegiatan yang kami berikan langsung mendapat respon cukup baik dari mereka. Namun ada pengalaman lain, mereka merasa keberatan bahkan dengan tegas menolaknya.

Proses awal sosialisasi dan pendekatan ke masyarakat sekaligus penjelasan program/kegiatan yang ditawarkan menjadi faktor yang sangat krusial untuk dilakukan dengan baik. Beberapa pengalaman kegagalan program bahkan penolakan yang terjadi seringkali karena belum terjalinnya rasa saling percaya, hingga bisa menimbulkan berbagai prasangka buruk.

Sering muncul anggapan bahwa program yang kami tawarkan akan mengganggu sumber mata pencaharian sehari-hari mereka. Mereka yang sudah tinggal di dalam kawasan hutan (secara ilegal) bahkan bisa lebih kuatir lagi karena mereka takut lahan yang sudah digarap akan segera diambil pihak pemerintah. Ada beberapa pengalaman ketika masyarakat dengan tegas mengusir dan mengatakan tidak membutuhkan program yang kami tawarkan.

Ini menjadi tantangan tersendiri di lapangan. Ketika berdasarkan data analisa citra satelit, lokasi tersebut cocok untuk direhabilitasi, namun ternyata masyarakat di sekitar lokasi ternyata tidak merespon dengan baik.

Kami selalu berusaha melakukan pendekatan serta memberikan penjelasan mengenai program yang ditawarkan. Bahwa itu tidak akan mengganggu kegiatan atau usaha mereka sehari-hari yang mungkin sudah terbiasa bercocok tanam dengan komoditas tertentu. Justru sebaliknya. Kami ingin membantu mereka untuk mengoptimalkan fungsi lahan yang akan diolah dengan menambah bahkan kalau perlu mengganti komoditas yang mungkin akan lebih menguntungkan secara ekonomi.

Penanaman bibit pohon di sela kebun kopi petani (Dokpri)
Penanaman bibit pohon di sela kebun kopi petani (Dokpri)

Tentu saja itu semua dilakukan tidak secara top down melainkan bottom up. Kami mengajak para pemilik lahan untuk bertukar pikiran mendiskusikan jenis komoditas yang paling cocok untuk mereka tanam. Prinsipnya, kami tidak akan pernah memaksa.    

Selain dari sisi ekonomi, tentunya kami selalu berkewajiban untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan hutan. Bahwa lahan atau kawasan hutan yang sedang mereka kelola selain berfungsi secara ekonomi sebenarnya juga memiliki fungsi ekologi.

Setiap batang pohon yang mereka tanam, jaga, dan tumbuh dengan baik akan membawa manfaat untuk orang banyak karena bisa menghasilkan oksigen (O2), menjaga kuantitas dan kualitas air, mencegah terjadinya bencana banjir dan sebagainya. Dengan kata lain, disadari atau tidak, sebenarnya mereka punya andil cukup besar untuk menjaga bumi ini dari kerusakan yang makin parah.

Untuk itulah, kami selalu mendorong mereka untuk menanam bibit pohon kayu-kayuan atau pohon yang menghasilkan buah. Meskipun sering muncul pertanyaan tentang jangka waktu yang sering dianggap terlalu lama untuk memanen hasil, khususnya untuk komoditas kayu-kayuan.

Untuk kegiatan tertentu (Agroforestry), pertanyaan ini bisa segera dijawab karena selain penyediaan bibit kayu dan buah-buahan, biasanya juga disediakan anggaran untuk penyediaan bibit tumpang sari yang jenisnya lagi-lagi bisa ditentukan sendiri oleh para petani. Tanaman jenis ini tentu saja bisa lebih cepat dinikmati hasilnya.            

Tugas "membumikan" konsep NZE 

Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini, mengapa kampanye dan upaya penyelamatan lingkungan yang meskipun sudah digaungkan sejak lama terlihat belum menunjukkan hasil sebagaimana diharapkan? Mengapa pula pemerintah kita terkesan pesimis bisa mewujudkan NZE lebih cepat, sampai-sampai target pencapaian yang ditetapkan justru molor sepuluh tahun dari kesepakatan dunia internasional?

Saya kira, harus diakui bahwa ide/konsep tentang penyelamatan lingkungan belum diterima apalagi direspon secara merata oleh masyarakat kita. Sebagian mungkin sudah punya kesadaran dan pemahaman yang cukup baik tentang pentingnya bergaya hidup yang ramah lingkungan.

Kita bisa melihat ada banyak orang bahkan komunitas-komunitas yang secara konsisten terus bergiat mengajak lingkungan sekitarnya untuk semakin peduli akan masa depan serta kelestarian bumi ini.   

Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian orang justru sebaliknya. Mereka bahkan tidak terlalu paham apalagi peduli dengan konsep-konsep rumit semacam itu. Dulu sering mendengar istilah global warming, climate change, greenhouse effect dan sebagainya, sekarang muncul lagi istilah Net-Zero Emissions (NZE).

Sehingga, sembari memberikan contoh teladan hidup yang baik, barangkali penting selalu memikirkan cara yang lebih efektif dan sederhana untuk menyampaikan konsep-konsep semacam itu agar lebih membumi dan bisa dipahami masyarakat luas. Saya cukup yakin bahwa pemahaman itulah yang paling mungkin akan mendorong seseorang bergerak secara sadar melakukan tindakan atau aksi.

Pemerintah jelas tidak bisa bekerja sendirian untuk mencapai NZE ini. Pemerintah harus memikirkan program-program besar beserta dana yang dibutuhkan. Pemerintah juga perlu menyelaraskan konsep-konsep tersebut di tengah-tengah pembangunan dan pelayanan publik yang harus terus berjalan.   

Tugas kita tidak kalah penting untuk mendukung pencapaian NZE ini dengan membuat pemahaman konsep-konsep penyelamatan bumi menjadi lebih dekat dengan kehidupan banyak orang serta kesehariannya.

Ini menjadi tantangan bersama. Konteks interaksi bersama masyarakat di kota dengan di desa khususnya yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan jelas berbeda. Sehingga metode penyebarluasan pemahaman akan konsep NZE pun tidak bisa sama. Mari memikirkannya dan bergerak bersama. Untuk bumi dan untuk masa depan kita nanti.

***

Jambi, 24 Oktober 2021     

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun