Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Beli Saham Pakai "Uang Panas", Bukan Investasi tapi Judi

18 Januari 2021   22:42 Diperbarui: 19 Januari 2021   15:47 1725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berinvestasi saham sepertinya sudah mulai menjadi tren belakangan ini khususnya di kalangan anak muda. Laporan mengenai lonjakan jumlah investor di pasar modal, bisa menjadi salah satu indikasinya.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 19 November 2020, jumlah investor pasar modal mencapai 3,53 juta investor yang mana 42,6 persen atau 1,50 juta di antaranya merupakan investor saham. Sisanya merupakan investor reksadana dan obligasi.

Seolah belum puas dengan pencapaian tersebut, BEI masih menargetkan penambahan jumlah investor pasar modal tahun ini dapat tumbuh 25 persen daripada pencapaian tahun ini. 

Data-data di atas jelas sangat menggembirakan. Kesadaran berinvestasi (saham) di publik termasuk generasi milenial adalah hal yang sangat positif. Kampanye literasi dan inklusi keuangan yang terus gencar dilakukan pemerintah termasuk kampanye Yuk Nabung Saham, sepertinya mulai menuai hasil.

Semoga saja anggapan-anggapan negatif tentang saham pelan-pelan mulai dihilangkan. Saham adalah bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan. Artinya, di balik setiap lembar saham yang diperjualbelikan dan bisa kita miliki, sebenarnya ada bisnis yang sedang berjalan.

Perusahaan yang dimaksud menghasilkan produk berupa barang dan jasa yang sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Dengan membeli saham, berarti kita telah ikut ambil bagian menjadi pemilik perusahaan. Tentu saja sesuai dengan porsi kepemilikan saham yang sudah kita beli.

Gunakan uang dingin 

Satu hal penting yang selalu diingatkan bagi siapapun yang ingin membeli saham; gunakanlah uang dingin, jangan uang panas. Maksudnya, uang yang benar-benar sudah kita siapkan untuk berinvestasi, "uang nganggur" atau uang yang memang tidak digunakan dalam waktu dekat. Lebih lugas lagi, andaipun suatu saat uang tersebut hilang, tidak akan mengganggu kehidupan sehari-hari kita.

Mengapa harus demikian? Faktanya bahwa pasar saham terkenal sangat fluktuatif. Harga-harga saham bisa naik dan turun, tanpa bisa diduga. Emosi sebagian besar penjual dan pembeli saham sangat cepat dan mudah dipengaruhi oleh berbagai berita bernada sentimen, baik atau buruk. 

Saat mencuat sentimen baik, para pelaku pasar akan sangat optimis, dan antri untuk membeli. Hasilnya, tentu saja harga saham akan naik. Demikian sebaliknya, saat ada sentimen negatif, pelaku pasar dengan cepat merespon untuk menjual secepat mungkin saham yang dimiliki, sekalipun dalam posisi rugi.

Pada kondisi demikian, coba bayangkan bila ternyata uang yang digunakan untuk membeli saham ternyata adalah "uang panas". Tentu saja akan membuat ketakutan dan kepanikan yang luar biasa.

Baru-baru ini di kalangan investor saham, viral pengakuan beberapa orang yang mengaku menggunakan "uang panas" saat membeli saham. Bila ditelusuri, awalnya mereka tertarik untuk membeli saham karena melihat ada saham-saham tertentu yang hampir setiap hari naik cukup drastis.

Mungkin terdorong oleh nafsu serakah untuk ikutan cuan dalam waktu singkat, ada yang berani mengajukan pinjaman online, menggunakan uang arisan, menggadaikan surat tanah dan kendaraan untuk diinvestasikan ke dalam saham yang sedang dalam tren "terbang".

Namun apa daya, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Bukannya naik, saham yang mereka beli ternyata turun drastis selama berhari-hari.

Ada yang mengaku sudah dalam posisi floating loss sekitar 25 persen. Misalkan mereka beli saham seratus juta rupiah, dalam posisi terkini dan mereka berpikir ingin menjual sahamnya, otomatis mereka akan rugi dua puluh lima juta rupiah. Menyeramkan, bukan?

Beberapa emiten saham di BEI belakangan ini memang cukup menyedot perhatian. Ambil contoh, saham-saham di sektor farmasi. Bila dihitung-hitung, hampir semuanya sudah "terbang" dan sempat mencapai harga tertingginya seiring berita positif mengenai vaksin. Ada lagi saham-saham yang bergerak di sektor nikel, seiring rencana pengadaan mobil listrik di Indonesia.

Pasar bereaksi sangat cepat, positif, dan sudah berlebihan. Beberapa analis dan pelaku pasar sebenarnya sudah mewanti-wanti para investor agar berhati-hati bila berniat membeli saham-saham tersebut. Ada potensi penurunan harga yang cukup besar dan bisa membuat investor "nyangkut" karena membeli di harga yang mahal. Ternyata benar dan itulah yang terjadi saat ini. 

Coba bayangkan jika kita berada di posisi tersebut, sementara uang yang sudah dibelikan saham itu harus segera dikembalikan. Bila sahamnya dijual sekarang, tentu akan menanggung kerugian besar. Bila tidak segera dijual, jangan-jangan potensi kerugiannya semakin membesar.

Investasi atau judi?

Pada akhirnya, penting untuk terus diingatkan bahwa membeli saham adalah salah satu wujud investasi. Dengan demikian, sangat keliru bila menganggap saham sebagai jalan pintas untuk menjadi kaya raya. Investasi saham memang menjanjikan imbal hasil yang besar, tapi tetaplah berhati-hati karena potensi kerugiannya pun besar.

Coba kita luangkan waktu sejenak untuk belajar dari pengalaman hidup para investor saham yang sudah berhasil baik di dalam maupun luar negeri. Tidak ada yang instan. Semua butuh proses dan konsistensi.

Investasi ibarat kita sedang menanam bibit tanaman, yang perlu terus disiram dan dirawat agar tumbuh dengan baik dan pada waktunya kelak bisa kita nikmati hasilnya.

Persoalannya, sebagian orang masih ada yang menjadikan pasar saham ibarat kasino alias arena judi. Mereka berharap bisa mendapat untung besar dalam waktu singkat. Caranya, mereka hanya ikut-ikutan membeli saham yang dianggap bisa naik tinggi dengan cepat.

Mereka tak mau pusing untuk lebih dulu belajar mengenali calon perusahaan yang akan dibeli. Mereka tak peduli lini bisnis yang dikerjakan perusahaan. Apakah perusahaan sedang dalam posisi rugi atau untung? Tak juga pusing apakah perusahaan itu dikendalikan orang-orang berkompeten dan berintegritas atau tidak?

Yang terpenting adalah mereka melihat ada potensi harga saham perusahaan tersebut bisa "terbang" dan menghasilkan keuntungan. Hatinya sudah diliputi keserakahan dan cenderung mengabaikan rasionalitas. Saat sudah "nyangkut" baru menyesal. Tapi, apakah ada gunanya?

Terakhir, pesan untuk siapapun yang mungkin baru mulai tertarik untuk berinvestasi saham. Selain menyiapkan uang/modal untuk membeli saham, sangat disarankan juga untuk menyiapkan mental dan "mindset" yang benar sebagai seorang investor.

***

Jambi 18 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun