Berinvestasi saham sepertinya sudah mulai menjadi tren belakangan ini khususnya di kalangan anak muda. Laporan mengenai lonjakan jumlah investor di pasar modal, bisa menjadi salah satu indikasinya.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 19 November 2020, jumlah investor pasar modal mencapai 3,53 juta investor yang mana 42,6 persen atau 1,50 juta di antaranya merupakan investor saham. Sisanya merupakan investor reksadana dan obligasi.
Seolah belum puas dengan pencapaian tersebut, BEI masih menargetkan penambahan jumlah investor pasar modal tahun ini dapat tumbuh 25 persen daripada pencapaian tahun ini.Â
Data-data di atas jelas sangat menggembirakan. Kesadaran berinvestasi (saham) di publik termasuk generasi milenial adalah hal yang sangat positif. Kampanye literasi dan inklusi keuangan yang terus gencar dilakukan pemerintah termasuk kampanye Yuk Nabung Saham, sepertinya mulai menuai hasil.
Semoga saja anggapan-anggapan negatif tentang saham pelan-pelan mulai dihilangkan. Saham adalah bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan. Artinya, di balik setiap lembar saham yang diperjualbelikan dan bisa kita miliki, sebenarnya ada bisnis yang sedang berjalan.
Perusahaan yang dimaksud menghasilkan produk berupa barang dan jasa yang sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Dengan membeli saham, berarti kita telah ikut ambil bagian menjadi pemilik perusahaan. Tentu saja sesuai dengan porsi kepemilikan saham yang sudah kita beli.
Gunakan uang dinginÂ
Satu hal penting yang selalu diingatkan bagi siapapun yang ingin membeli saham; gunakanlah uang dingin, jangan uang panas. Maksudnya, uang yang benar-benar sudah kita siapkan untuk berinvestasi, "uang nganggur" atau uang yang memang tidak digunakan dalam waktu dekat. Lebih lugas lagi, andaipun suatu saat uang tersebut hilang, tidak akan mengganggu kehidupan sehari-hari kita.
Mengapa harus demikian? Faktanya bahwa pasar saham terkenal sangat fluktuatif. Harga-harga saham bisa naik dan turun, tanpa bisa diduga. Emosi sebagian besar penjual dan pembeli saham sangat cepat dan mudah dipengaruhi oleh berbagai berita bernada sentimen, baik atau buruk.Â
Saat mencuat sentimen baik, para pelaku pasar akan sangat optimis, dan antri untuk membeli. Hasilnya, tentu saja harga saham akan naik. Demikian sebaliknya, saat ada sentimen negatif, pelaku pasar dengan cepat merespon untuk menjual secepat mungkin saham yang dimiliki, sekalipun dalam posisi rugi.
Pada kondisi demikian, coba bayangkan bila ternyata uang yang digunakan untuk membeli saham ternyata adalah "uang panas". Tentu saja akan membuat ketakutan dan kepanikan yang luar biasa.