Namun, kita dapat memahami bahwa kebanyakan warga tentu punya keyakinan sendiri terhadap cerita rakyat yang konon sudah diceritakan dan diwariskan oleh para leluhurnya.Â
Terlebih lagi, cerita rakyat tersebut dianggap punya banyak nilai manfaat yang bisa dijadikan pembelajaran bagi setiap generasi. Ajaran kewajiban menghormati ibu yang sudah bersusah payah mengandung dan membesarkan kita merupakan nilai moral yang selalu relevan dan tak pernah lekang oleh zaman. Nilai-nilai moral ini juga selaras dengan ajaran agama apapun.
Dalam agama yang saya yakini (Kristen), perintah untuk menghormati orang tua (ayah-ibu) merupakan salah satu dari sepuluh perintah Allah. Beberapa bagian dalam Injil juga menyatakan hal serupa. Salah satu contohnya tercatat dalam Matius 15:4 berbunyi demikian "Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati". Artinya tidak ada toleransi sama sekali bagi anak yang durhaka pada orang tuanya.
Cerita rakyat tentu saja tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai alat pedoman dan pengingat bagi setiap generasi. Semata-mata demi kemanfaatan bersama. Tidak ada yang salah dengan upaya serta tradisi untuk melestarikannya.
Cerita rakyat juga bisa menjadi alat ajar yang mungkin bisa efektif khususnya dalam menanamkan nilai-nilai moral bagi anak-anak kita. Seiring berjalannya waktu, saat dewasa nanti, mungkin mereka akan mulai berpikir tentang kebenaran cerita rakyat yang pernah mereka dengar. Akan tetapi satu hal yang pasti, nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya akan selalu relevan dan abadi.
***
Jambi, 10 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H