Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Rakyat: Asal-usul Lempur, Desa Wisata Terpadu di Kerinci

10 Januari 2021   22:14 Diperbarui: 10 Januari 2021   22:22 3330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danau Kaco nan indah, salah satu danau yang terletak di Desa Lempur (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Kabupaten Kerinci, provinsi Jambi punya banyak destinasi wisata yang menjadi tujuan wisatawan domestik dan asing. Gunung, bukit, danau, air terjun, air panas, pantai, hingga daerah perkebunan teh ada di Kerinci. Namun ada satu desa yang cukup terkenal bernama Desa Lempur.

Desa yang memiliki 5 (lima) danau ini ditetapkan sebagai satu-satunya desa terpadu di Kerinci. Tahun 2015, Lempur juga pernah mendapat Kalpataru. Tapi siapa sangka, warga setempat justru meyakini satu cerita rakyat yang terbilang cukup tragis namun disebut-sebut sebagai asal-usul dan sejarah desa.

***

Alkisah hiduplah Raja Pamuncak Tanjung Sari yang memiliki seorang putri nan cantik jelita bernama Puti Ayu Maryam. Kecantikannya melebihi siapapun gadis remaja yang ada di kerajaan itu. Namun sayang, elok paras tak seelok budinya. Puti sering melawan perintah orangtua, terkhusus ibunya.

Suatu ketika, Puti Ayu bersama ibunya ikut berangkat untuk merayakan pesta panen. Setiba di tempat, Puti Ayu girang bukan kepalang. Ia bertemu dengan banyak teman sebaya. Ia langsung membayangkan bisa bermain sepuasnya.

Acara perayaan pun digelar. Semua bersukaria. Hari beranjak malam, namun kemeriahan pesta terus berlangsung. Puti Ayu bersama teman-temannya terus asyik bermain. Ibunya yang merasa waktu bermain sudah cukup, kemudian memanggilnya.

Berulangkali ibunya memanggil, tapi Puti Ayu tidak menyahut. Ia malah terus berlari, bermain bersama teman-temannya.

"Siapa sebenarnya ibu tua itu?." Seorang teman Puti Ayu tiba-tiba bertanya, saat mereka sedang berjalan.

"Dia pembantuku." Puti menjawab asal. Tak disangka suara Puti Ayu ternyata didengar oleh ibunya yang sontak merasa terkejut, sedih, serta tidak menyangka putri yang sangat dikasihinya tega berkata seperti itu. Sepanjang jalan, ibunya terus berdoa di dalam hati memohon kesabaran dari Sang Pencipta. Perkataan Puti Ayu terus terngiang di telinganya.

Hari ketiga, hari terakhir perayaan pesta panen. Keesokan harinya para tamu undangan, termasuk Puti Ayu dan ibunya beranjak pulang ke tempat asalnya masing-masing. Ibunya berjalan di depan, Puti Ayu mengiring di belakang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba seseorang kembali bertanya pada Puti Ayu.

"Hei,, Puti Ayu. Ibu tua yang bersama denganmu itu, ibumu kan?."

"Enak saja...mana mungkin aku punya ibu yang jelek dan tua seperti itu. Lihat saja, wajah kami tak mirip sama sekali. Dia cuma pembantu yang mengasuhku."

Sekali lagi, ibunya mendengar dengan jelas ucapan putrinya. Dalam hati ia menangis sambil meratap.

"O...Tuhan. Apakah dosa hambamu ini? Mengapa putriku satu-satunya ini sampai hati berkata aku ini adalah pembantunya, bukan ibunya. Sembilan bulan aku mengandungnya, belasan tahun aku bersusah payah merawatnya hingga tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Sekarang, inikah yang harus kuterima? Tuhan Semesta Alam, hamba memohon, tunjukkanlah kuasamu."

Sesaat ibu Puti Ayu selesai berdoa, terjadi keanehan. Seketika langit yang tadinya cerah mendadak gelap, terdengar suara gemuruh petir menyambar, lalu diiringi hujan deras yang jatuh ke bumi. Warga berlarian mencari tempat berteduh. Saat itu mereka sedang berada di daerah rawa.

Malang nasib Puti Ayu, kakinya terpeleset masuk dalam satu lubang. Anehnya, lama-kelamaan lubang itu terus berputar dan menarik tubuhnya.

"Tolong......tolong......ibu, selamatkan aku." Puti Ayu berusaha mengulurkan tangan sambil terus menjerit memanggil ibunya.

Tergeraklah hati ibu Puti Ayu oleh belas kasihan. Ia mengulurkan tangan dan berusaha meraih tangan anaknya. Namun ternyata alam berkehendak lain, tubuh Puti Ayu terus masuk terseret ke dalam lubang lumpur itu. Ibunya menangis menjerit seraya memanggil-manggil nama Puti Ayu. Namun apa daya, Puti Ayu sudah hilang ditelan lubang lumpur.

Sejak saat itulah, warga desa kemudian menamai daerah itu Lempur yaitu berasal dari kata lumpur.

***

Sebagaimana cerita rakyat pada umumnya, tentulah ihwal kebenaran peristiwa tersebut masih layak dipertanyakan. Terkadang, kita menemukan hal-hal yang agak sulit masuk logika dan diterima akal. Belum lagi, kita sering menemukan cerita dari banyak daerah yang punya kemiripan.

Cerita tentang ganjaran bagi anak yang durhaka pada ibunya, bukankah sebenarnya sudah sangat akrab di telinga kita?           

Namun, kita dapat memahami bahwa kebanyakan warga tentu punya keyakinan sendiri terhadap cerita rakyat yang konon sudah diceritakan dan diwariskan oleh para leluhurnya. 

Terlebih lagi, cerita rakyat tersebut dianggap punya banyak nilai manfaat yang bisa dijadikan pembelajaran bagi setiap generasi. Ajaran kewajiban menghormati ibu yang sudah bersusah payah mengandung dan membesarkan kita merupakan nilai moral yang selalu relevan dan tak pernah lekang oleh zaman. Nilai-nilai moral ini juga selaras dengan ajaran agama apapun.

Dalam agama yang saya yakini (Kristen), perintah untuk menghormati orang tua (ayah-ibu) merupakan salah satu dari sepuluh perintah Allah. Beberapa bagian dalam Injil juga menyatakan hal serupa. Salah satu contohnya tercatat dalam Matius 15:4 berbunyi demikian "Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati". Artinya tidak ada toleransi sama sekali bagi anak yang durhaka pada orang tuanya.

Cerita rakyat tentu saja tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai alat pedoman dan pengingat bagi setiap generasi. Semata-mata demi kemanfaatan bersama. Tidak ada yang salah dengan upaya serta tradisi untuk melestarikannya.

Cerita rakyat juga bisa menjadi alat ajar yang mungkin bisa efektif khususnya dalam menanamkan nilai-nilai moral bagi anak-anak kita. Seiring berjalannya waktu, saat dewasa nanti, mungkin mereka akan mulai berpikir tentang kebenaran cerita rakyat yang pernah mereka dengar. Akan tetapi satu hal yang pasti, nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya akan selalu relevan dan abadi.

***

Jambi, 10 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun