Baiklah kita mencoba mendengar pendapat profesor psikologi Prancis T McAndrew yang mengatakan selera musik seseorang mulai mengkristal sejak usia 13 atau 14 tahun. Kemudian saat usia 20an, selera itu akan "terkunci" dan cenderung ajek.
Ada lagi penelitian yang menemukan bahwa pada saat kita berusia 33 tahun, kebanyakan dari kita telah berhenti mendengarkan musik baru. Alasannya cukup sederhana, saat itu mungkin kita sudah lebih disibukkan dengan urusan pekerjaan dan keluarga. Adapun lagu-lagu populer yang dirilis ketika kita masih remaja awal cenderung tetap cukup populer di kalangan kelompok usia kita selama sisa hidup kita.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, setiap generasi sudah pasti akan menganggap musik di eranya lebih baik dan populer karena memang musik itulah yang pernah dia dengar dan nikmati. Sehingga besar kemungkinan mereka yang menganggap musik 90s sebagai era emas musik Indonesia adalah mereka yang memang menghabiskan masa remaja (awal mengenal dan mulai menikmati musik) di era musik tersebut lahir.
Sekali lagi, sebenarnya sah-sah saja kita punya anggapan bahwa musik di era tertentu merupakan era yang terbaik. Tapi tentu saja tanpa harus membandingkannya dengan era yang lain.
Setiap zaman punya selera berbeda dan itulah yang membuat terbentuknya pasar. Mengagungkan era musik yang satu dengan yang lain itu ibarat sedang mencoba mengatakan penikmat musik barat punya selera musik yang lebih tinggi dibandingkan penikmat musik lokal. Atau, penikmat musik pop jauh "lebih bermartabat" dibandingkan penikmat musik dangdut misalnya. Kacau sekali, bukan?
Semestinya kita bisa menikmati musik apapun dengan sebebas-bebasnya, tanpa harus mendapatkan stigma yang menganggap kita kuno, ketinggalan zaman, tak punya selera dan sebagainya. Musik adalah alat hiburan sekaligus pemersatu dan bukan sebaliknya. Â Â
***
Jambi, 9 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H