Menertawakan
Pada kondisi sedemikian, maka saya sepakat bahwa Indonesia butuh ketawa. Kebanyakan anak bangsa ini sepertinya sudah biasa bersikap terlalu kaku dan tegang. Indikasinya, semakin banyak bermunculan orang yang mudah marah dan tersinggung. Istilah pelecehan, penistaan dan sebagainya mendadak kian populer belakangan ini. Apa saja termasuk yang jelas-jelas merupakan bahkan komedi ternyata bisa membuat tersinggung. Â
Banyak komedian yang sudah mengalami dan mengeluhkan hal ini. Pandji Pragiwaksono misalnya. Ia pernah didatangi dan harus berurusan dengan sekelompok orang hanya gara-gara pernah membawakan jokes tentang kucing. Mereka sepertinya tersinggung dan merasa kucing tak pantas dijadikan sebagai bahan berkomedi.
Saya membayangkan betapa repotnya profesi sebagai komedian. Mereka tidak sekadar dipusingkan harus mencari bahan dan materi yang bisa dijadikan jokes, tetapi juga harus memikirkan apakah ada potensi orang-orang yang bakalan tersinggung karena materi itu. Lebih lucu lagi, saat ada komedian yang membawakan jokes tentang dirinya sendiri, ternyata tetap saja ada orang lain yang bisa merasa tersinggung. Aneh sekali, bukan? Â Â
Sementara para komedian saja sepakat bahwa kemampuan menertawakan diri sendiri merupakan kasta komedi paling tinggi. Butuh keterampilan dan kebesaran hati yang luar biasa untuk mengakui dan membincangkan "kekurangan" dirinya sendiri sebagai bahan tertawaan.
Bicara soal menertawakan diri sendiri, saya langsung teringat dengan sosok Gus Dur. Sebagian besar anak bangsa ini mengenangnya sebagai sosok yang humoris lantaran sering melontarkan jokes segar di depan publik.
Tak jarang, kekurangannya pun bisa dijadikan bahan candaan. Tentu kita ingat guyonan ini. Suatu ketika, Gus Dur bercerita bahwa dirinya pernah diminta mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. "Saya maju sendiri saja susah harus dituntun, ini disuruh mundur," jawab Gus Dur.
Bangsa ini sepertinya akan selalu merindukan sosok seperti Gus Dur. Hari-hari ini, kebanyakan pejabat kita justru sangat mementingkan citra. Saat tampil di depan publik, seakan-akan semuanya harus serba formil, berwibawa, dan tidak boleh ada kesalahan sama sekali.Â
Penghujung tahun 2020 ini menjadi momen yang baik untuk melakukan refleksi bersama. Kita tidak pernah tahu tantangan apa yang akan dihadapi di tahun-tahun mendatang. Mungkin lebih mudah, tetapi mungkin juga akan lebih berat.
Apapun itu, hal terpenting adalah harus selalu mempersiapkan diri untuk menyambut dan menghadapinya. Langkah sederhananya dengan mengurangi ketegangan satu sama lain. Berhenti untuk menimbulkan apalagi sekadar ikut-ikutan meruncingkan suatu masalah. Â
Ingatlah bahwa kita sama-sama lahir dari rahim ibu pertiwi. Meskipun berbeda warna kulit, rambut, suku, agama, golongan namun tetap kita semua bersaudara. Lalu untuk apa terus-terusan bertengkar? Â