Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Kegentingan Memaksa, Alasan Menunda Pilkada

21 September 2020   00:10 Diperbarui: 21 September 2020   07:49 1734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terus bertambahnya kasus positif Covid-19 membuat sejumlah tokoh mengusulkan agar pemerintah menunda pelaksanaan pilkada.| Ilustrasi: Kompas/Priyombodo

Desakan agar pemerintah segera mengumumkan penundaan pilkada terus berdatangan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj melalui dokumen pernyataan sikap yang diterima Kompas.com (20/9) menyatakan "Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada serentak tahun 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati".

Said mengatakan, dengan adanya pandemi Covid-19, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah seharusnya diorientasikan pada pengentasan krisis kesehatan. 

Selain meminta Pilkada 2020 ditunda, PBNU juga meminta supaya anggaran Pilkada direlokasikan bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial. 

Senada dengan itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nasir mengatakan pelaksanaan pilkada pada masa pandemi Covid-19 berisiko tinggi. Terlebih, digelar di tengah-tengah kondisi pandemi di Indonesia yang masih tinggi.

Desakan penundaan Pilkada juga disampaikan oleh berbagai organisasi, misalnya Komnas HAM, Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) serta para tokoh nasional termasuk mantan Wapres, Jusuf Kalla.

Situasi yang terjadi saat ini memang membuat banyak pihak merasa perlu untuk mengingatkan pemerintah akan musibah besar yang mungkin terjadi bila Pilkada tetap dipaksakan terlaksana sesuai jadwal, Desember nanti.

Sekali lagi, fakta menunjukkan bahwa tingkat penyebaran virus Covid-19 di negara kita masih jauh dari kata selesai. Kemarin, data harian jumlah yang dinyatakan positif tertular mencatat rekor baru yaitu lebih dari empat ribu orang. Total sudah ada lebih dari dua ratusan ribu orang yang dinyatakan positif.

Diantara mereka yang sudah dinyatakan terpapar virus Covid-19 adalah dua orang komisioner KPU Pusat yaitu Arief Budiman dan Pramono Ubaid Tanthowi. Sebelum Arief dan Pramono, komisioner KPU lainnya yaitu Evi Novida Ginting juga dinyatakan terinfeksi virus. Namun, Evi disebut sudah sembuh.

Awal Juni lalu, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo dan tiga orang stafnya terkonfirmasi positif virus Covid-19 saat hendak kembali ke Jakarta dari Palu.

Alasan kegentingan

Bila Pilkada tetap dilaksanakan Desember nanti, ada potensi bahaya besar yang sedang menanti. Pengurus LP3ES, Wijayanto dalam salah satu sesi diskusi virtual baru-baru ini menyitir riset Mujani tahun 2020 yang menyatakan ada dua titik bahaya Covid-19 dalam tahapan Pilkada yakni pada masa kampanye yang berlangsung selama 71 hari sejak 26 September hingga 5 Desember dan pada hari pencoblosan 9 Desember.

Dengan simulasi yang sederhana, diduga ada 34 juta orang yang berpotensi terpapar Covid-19 bila Pilkada tetap dilaksanakan Desember nanti. Sekadar informasi, ada sebanyak 270 daerah yang direncanakan melaksanakan Pilkada dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Saya tak sanggup membayangkan kengerian yang bakal ditimbulkan bila simulasi Mujani itu nyata terjadi. Di mana pasien-pasien akan dirawat? Siapa yang akan merawat? Ke mana lagi pasien yang meninggal harus dimakamkan?

Sehingga sangat masuk akal bila desakan menunda pelaksanaan pilkada akan kian gencar disuarakan kelompok masyarakat maupun tokoh nasional. Menuntut sampai pemerintah benar-benar membuka mata, telinga dan hatinya agar bangsa ini benar-benar terhindar dari potensi bencana yang mengerikan.

Menunda pilkada di tengah kondisi sekarang jelas bukanlah sebuah indikasi kegagalan. Tiada gunanya memaksakan pelaksanaan pilkada sesuai jadwal, kalau itu akhirnya bisa menjadi sumber petaka bagi keselamatan warga. 

Bukankah mengupayakan keselamatan dan kesehatan warga harus selalu menjadi prioritas yang terutama bagi pemerintah?

Tidak perlu mencari-cari alasan bahwa pilkada tetap bisa dilaksanakan dengan tetap mematuhi aturan protokol kesehatan secara ketat. Mari jujur mengakui, hari-hari ini saja, seberapa mampu pemerintah kita (pusat dan daerah) untuk memastikan itu benar-benar terlaksana?

Seberapa disiplin pula warga kita untuk secara sadar dan sukarela untuk mematuhinya? Silakan cek sendiri sekeliling kita. Tingginya data harian jumlah warga kita yang positif virus Covid-19, bukankah sudah bisa menjadi gambaran?

Salah satu kolom harian Kompas (16/9) memuat tulisan Dr. Handrawan Nadesul yang berjudul "Cegah Kluster Pilkada". Handrawan menuliskan, penularan Covid-19 bukan semata lewat percikan liur. Ada temuan butiran microdroplets Covid-19 yang melayang-layang, menjangkau lebih jauh dari jarak percikan dua meteran.

Hasil penelitian menunjukkan, di udara tempat publik berkerumun, satu saja hadir pembawa Covid-19 tanpa masker, virus akan mencemari udara karena faktanya sebaran Covid-19 bisa menjangkau lebih dari 10 meter. Orang tanpa masker dalam radius sebaran pasti tertular. Makin padat kerumunan orang, makin tinggi jumlah virus yang beredar.

Sudah jelas bukan? Memakai masker dan rajin mencuci tangan ternyata tidak cukup membuat kita terhindar dari potensi tertular virus. Ketika berada di tengah kerumunan, kita tak pernah tahu siapa-siapa saja yang sudah berstatus sebagai pembawa virus. 

Bukankah kita juga mengenal istilah orang tanpa gejala (OTG), yaitu mereka yang sebenarnya sudah terinfeksi virus tapi tidak ada gejala-gejala yang umum dialami penderita yang lain?

Ya, situasi yang kita alami saat ini adalah situasi yang genting. Ketika vaksin virus masih belum ditemukan, penyebaran virus pun semakin sulit dikendalikan. Pemerintah memang harus segera membuat keputusan penting. 

Dalam situasi genting saat ini, salah satu keputusan penting yang mendesak untuk segera diambil adalah terpaksa harus menunda pelaksanaan pilkada.

Dampak penyebaran virus Covid-19 bukan main-main. Hampir seluruh negara di dunia sudah merasakannya. Dari sisi penanganan, bahkan negara yang sempat mengklaim sudah berhasil mengatasinya, ternyata bisa mengalami "serangan" kedua.

Dari sisi ekonomi, sudah banyak negara termasuk negara maju dan punya fundamental ekonomi yang kuat tapi akibat Covid-19 akhirnya mengalami resesi. Indonesia juga hampir pasti akan segera mengalami kondisi serupa.

Menjadi pertanyaan besar, apakah pemerintah kita mampu melihat kegentingan yang sama? Ataukah masih tetap memaksakan pelaksanaan Pilkada dengan segala risikonya?

Dari salah satu Staf Khusus Presiden, tersiar kabar pemerintah saat ini sedang menyiapkan rancangan Perppu tentang Pilkada. Biasanya, Perppu dikeluarkan dengan alasan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Apakah itu berkaitan dengan penundaan Pilkada? Semoga saja

***

Jambi, 21 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun