Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus Anji-Hadi dan Kita yang Suka Sensasi

5 Agustus 2020   01:45 Diperbarui: 5 Agustus 2020   01:56 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Gambar: Tangkapan layar Youtube Anji bersama Hadi Pranoto - Kompas.com)

Mari berandai-andai. Bila masyarakat kita sudah terbiasa dan memiliki nalar pemikiran yang dewasa, kasus Anji-Hadi mungkin takkan terjadi. Andai kita sudah sangat logis dalam berpikir, kasus-kasus semacam ini pun kemungkinan besar tidak akan ramai apalagi sampai terulang di masa mendatang.

Namun sayang, kita memang terlalu suka dengan hal-hal yang sensasional. Lantas kita memberikan ruang dan tempat yang terlalu besar untuk itu. Meskipun sudah sering terkonfirmasi hal-hal yang sensasional, bombastis, viral ternyata sangat dekat dengan kebohongan bahkan kebodohan. Masalahnya, kita terkesan seperti terus menikmatinya.

Di era kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, kecenderungan kita untuk mencintai bahkan terkadang sampai mencari hal-hal sensasional kelihatannya justru menjadi-jadi.

Padahal beberapa tahun silam, seorang seniman jalanan Los Angeles, Plastic Jesus sudah mengingatkan agar kita berhenti membuat orang bodoh menjadi terkenal "Stop Making Stupid People Famous". Ungkapan yang sepertinya lahir dari kegelisahan menyaksikan fenomena orang-orang konyol dan bodoh justru mendapat kesempatan yang sangat besar untuk terkenal.

Dalam kasus Anji-Hadi misalnya. Bila sudah tahu latar belakang Anji yang merupakan seorang musisi, sebenarnya kita tak perlu ambil pusing saat dia mencoba membuat sensasi, membincangkan sesuatu yang di luar kapasitasnya. Ditambah lagi klaim mengenai vaksin yang sudah ditemukan oleh profesor (abal-abal) tersebut. Itu semua sudah sangat cukup bagi kita untuk menyimpulkannya sebagai sebuah dagelan dan pertunjukan komedi.

Lebih sia-sia lagi ketika ternyata sudah ada pihak yang serius memolisikan Anji-Hadi. Saya berpikir, entah apa yang dianggap penting dan diharapkan dari tindakan melaporkan dua orang tersebut.

Apakah menginginkan terciptanya tatanan hukum baru yang bisa membatasi bahkan membungkam hak dan kebebasan orang untuk berbicara? Saya kira, tindakan pelaporan itu justru membuat keduanya semakin terkenal dan terus menjadi bahan perbincangan publik?

Ceritanya bisa semakin panjang dan terus berlanjut, saat mereka akan diperiksa lalu memberikan pernyataan, klarifikasi, pembelaan, (mungkin) permintaan maaf, dan seterusnya. Tapi, apa hikmah yang bisa didapatkan? Justru kian menguatkan asumsi bahwa jalan pintas meraih keterkenalan di masa kini adalah dengan menjadi orang konyol/bodoh yang membuat sensasi.

Bila Anji-Hadi dianggap bersalah karena terkesan menjadikan masalah publik saat ini yaitu pandemi Covid-19 sebagai sebuah sensasi dan ide pertunjukan, berarti yang lain pun harus sama. Bagaimana dengan youtuber lain misalnya Deddy Corbuzier yang sempat memberikan panggung pada seseorang yang meyakini penyebaran wabah ini sebagai teori konspirasi? Apakah Deddy berbeda lantaran sudah punya jargon "smart people?" 

Panggung sensasi
Sekali lagi, masalah besar kita saat ini adalah terlalu cinta dan mengagungkan hal-hal yang sensasional. Kita memberikan panggung yang terlalu besar untuk para pembuat sensasi. Mereka yang ingin terkenal berikut naluri ekonominya lalu memanfaatkan peluang ini. 

Naluri membuat sensasi inilah yang membuat Anji dengan begitu bodohnya bisa langsung percaya dan memberikan panggung pada seseorang hanya gara-gara gelar profesor yang belakangan diketahui ternyata palsu.

Padahal masih banyak profesor dan pakar kesehatan (yang asli) di negeri ini yang paling pantas untuk ditanya pendapatnya mengenai hal tersebut. Ataukah Anji memang sudah bisa menduga, jawaban yang akan didapatkannya dari mereka tak akan memberikan sensasi bombastis seperti jawaban sang profesor abal-abal tadi?

Kegemaran kita akan sensasi juga yang sepertinya memunculkan ide bagi pemuka agama dadakan untuk berani mengaku-ngaku sebagai lulusan S3 Vatikan, mantan biarawati, keturunan Romo, dan sebagainya.

Terlalu sering kita salah memilih bahkan mengidolakan tokoh yang layak dijadikan panutan. Seberapa banyak diantara kita yang justru lebih senang memercayai dan "belajar" segala sesuatu dari dunia maya dan sedang viral, dibandingkan mencari sumber informasi/pengetahuan yang valid dari para pakar (asli) tadi? 

Tom Nichols dalam bukunya mengatakan, di era saat ini para pakar sudah mati alias ditinggalkan. Warga sudah lebih senang mendengar penganalisis aba-abal yang pendapatnya sedang viral di media sosial.

Sepotong informasi yang dibingkai dengan sangat memikat dan sensasional bisa tiba-tiba dianggap lebih berharga dan valid dibandingkan hasil riset para ahli yang sudah dikerjakan bertahun-tahun lamanya.

Kecintaan terhadap hal-hal yang sensasional masih ditambah lagi dengan kemalasan melakukan verifikasi dan validasi data. Bila kebiasaan-kebiasaan semacam ini terus berlanjut, mau dibawa kemana negeri ini?

***

Jambi, 5 Agustus 2020                                                                       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun