Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Si Anak Badai"; Kisah Keluarga, Persahabatan, dan Kampung Halaman

5 Oktober 2019   23:54 Diperbarui: 5 Oktober 2019   23:54 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Buku - dokpri

Setelah membaca tuntas novel "Si Anak Badai" karya Tere Liye, saya teringat akan pengalaman pribadi setahun yang silam. Saat itu, dalam rangka mengerjakan tugas dari kantor, saya tiba di sebuah dusun terpencil bernama Dusun Manggis. Dusun ini terletak di kabupaten Sarolangun, provinsi Jambi.

Terus terang saya tidak berhasil menemukan jawaban mengenai sejarah maupun asal-usul nama dusun tersebut sebagaimana saya juga ternyata tidak menemukan banyak pohon manggis yang tumbuh di sana. Satu hal yang pasti, saya keliru membayangkan dusun tersebut akan "semanis" namanya.

Untuk mencapai dusun tersebut, saya bersama tim harus menempuh perjalanan yang cukup merepotkan. Perjalanan darat dari ibukota provinsi menuju ibukota kabupaten memang tidak ada masalah, hanya butuh waktu kira-kira enam jam. Keesokan harinya, dari ibukota kabupaten, kami masih harus menambah dua jam perjalanan untuk mencapai pelabuhan.

Dari sini perjalanan "sesungguhnya" dimulai. Kami menumpang perahu bermotor bermuatan maksimal 6 orang. Perahu kecil itu membawa kami menyusuri sungai besar dengan arus yang berlawanan. Beberapa kali perahu tersebut oleng terkena pusaran air. Pengemudi perahu dengan cerewet selalu mengingatkan kami agar tetap tenang, tidak panik dan selalu menjaga posisi tubuh kami agar tetap stabil.

Perjalanan kami juga beberapa kali harus terhenti karena mesin perahu mendadak mati. Setelah diselidiki, penyebabnya adalah kipas/baling-baling perahu yang berhenti berputar karena tersangkut banyak sampah atau memang kandas di atas gundukan pasir yang gagal dilewati.

Perjalanan melelahkan ini harus kami tempuh kurang lebih 4-5 jam. Menurut pengemudi kapal, perjalanan akan memakan waktu lebih lama saat kondisi air sungai sedang surut. Pasalnya perahu akan lebih sering kandas di tengah perjalanan sehingga harus ditarik terlebih dulu untuk melanjutkan perjalanan.       

Setengah jam menjelang tiba di dusun tersebut, ada pemandangan yang membuat hati saya miris dan bercampur aduk. Di kanan kiri sungai, terlihat banyak alat berat yang sedang beroperasi membolak-balikkan tanah dari tepi sungai. Selain itu, banyak orang juga sedang sibuk mengaduk-aduk tanah lalu membersihkannya dengan air sungai. Saya perkirakan jumlah mereka mencapai puluhan hingga ratusan orang. Banyak tenda yang sudah terpasang, menandakan mereka sudah tinggal selama berhari-hari dan bermalam disana.

Tentu saja, mereka tidak sedang bermain-main apalagi berkemah. Sebaliknya, mereka sedang melakukan aktivitas penambangan emas. Dalam beberapa tahun belakangan, isu penambangan emas memang menjadi salah satu masalah pelik di provinsi Jambi.

Disinyalir, banyak aktivitas penambangan yang dilakukan tanpa ada izin atau istilahnya PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin). Sudah banyak kajian dan suara-suara yang mengingatkan akan bahaya aktivitas penambangan emas secara massif terhadap kelestarian lingkungan. Sudah banyak pula nyawa yang melayang dan menjadi korbannya.                               

Dampak penambangan emas terhadap lingkungan terpampang jelas di depan mata. Air sungai yang kotor dan tercemar, alur sungai yang tidak jelas bentuknya, dan sebagainya. Saat perjalanan menuju dusun Manggis, saya menyaksikan langsung kondisi air sungai yang  sangat kotor, berwarna kecoklatan, bercampur bau bahan bakar minyak penggerak mesin dan alat berat para penambang. Saya tak berani membayangkan air sungai tersebut masih akan digunakan warga sekitar untuk aktivitasnya sehari-hari. Untuk mandi apalagi untuk air minum.

Sangat memprihatinkan. Padahal dusun ini termasuk salah satu bagian hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang berfungsi memasok air ke bagian hilir termasuk hingga tiba di kota untuk digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Bila kondisi air di hulu saja sudah sangat tercemar, bukankah itu sebenarnya sinyal bahaya bagi warga yang tinggal di bagian hilir?.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun