Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

PSI, Partai Politik yang Berani Melawan Intoleransi

11 Februari 2019   23:04 Diperbarui: 12 Februari 2019   12:04 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Grace Natalie, Ketua Umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dalam pidato politiknya di hadapan 2.000 orang hadirin yang terdiri dari pengurus, kader dan simpatisan PSI kembali menegaskan garis perjuangan partainya.

Grace mengingatkan sebuah fenomena yang dianggap dapat membahayakan persatuan masyarakat Indonesia, yakni normalisasi intoleransi.

"Pembiaran penyerangan atas kelompok yang berbeda keyakinan, penutupan tempat ibadah, meluasnya ceramah kebencian, lama-lama menjadi kita anggap biasa. Inilah fenomena berbahaya yang disebut aktivis peneliti perempuan, Sandra Hamid sebagai "normalisasi intoleransi," kata Grace dalam keterangan tertulis.

Sejauh ini, PSI bisa dikatakan sebagai satu-satunya partai politik peserta Pemilu yang paling vokal dan berani mengangkat isu perlawanan terhadap intoleransi.

Partai politik ini dengan tegas mengeritik dan menolak Perda-perda yang bernuansa keagamaan (misalnya Perda Syariah dan Perda Injil) lalu berujung pada pelaporan sang ketua umum dengan tudingan telah menista agama.

Kita juga belum pernah mendengar ada janji/komitmen elite partai politik yang akan mendorong pencabutan SKB 2 Menteri -yang menjadi pangkal persoalan kasus-kasus penutupan rumah ibadah (khususnya) gereja- kecuali dari PSI.

Tidak dari partai politik (besar) yang mengaku berideologi nasionalis, terlebih lagi partai politik yang mengusung ideologi selain itu.

Ada kesan, partai politik memang sengaja bahkan akan selalu menjaga jarak kala mengomentari isu yang satu ini. Semua hanya bisa berkomentar secara normatif yang semakin menunjukkan ketidak jelasan sikapnya.

Ketika ada gereja ditutup/dibakar, pengikut Ahmadiyah mengalami diskriminasi, para politisi seolah berlomba menghindar dan tidak memberi komentar. 

Mengangkat isu intoleransi sebagai strategi kampanye tentunya sangat berisiko. Salah-salah, itu justru bisa menjadi bumerang yang akan merugikan partai politik itu sendiri. Risiko ditinggal pendukungnya sendiri bisa saja terjadi.

PSI sudah merasakannya sendiri. Praktis tidak ada satu pun partai politik yang mau ikut menyuarakan isu ini. Akibatnya, PSI bahkan harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari segala arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun