Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Ingat, Gereja Jangan Dijadikan Panggung Kampanye Politik!

4 Februari 2019   19:53 Diperbarui: 5 Februari 2019   14:45 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (leimena.org)

Pada artikel sebelumnya, saya sudah membahas fenomena caleg yang memanfaatkan momen pesta "bona taon" sebagai ajang berkampanye. Kali ini, saya ingin menyoroti hal lain yang sebenarnya sudah jelas dari sisi aturan.

Ya, saya akan membahas tempat ibadah, khususnya gereja yang berpotensi dijadikan sebagai panggung untuk berkampanye politik.

Sebagaimana lazimnya, para kandidat memang akan berupaya mengeksploitasi berbagai faktor kedekatan yang mungkin bisa memengaruhi sisi emosional para calon pemilih. Entah faktor suku, etnis, asal kampung halaman, almamater pendidikan, dan tentu saja agama.

Biasanya, kalau sudah dimulai dengan bicara kedekatan atau kesamaan, takkan terlalu dipermasalahkan lagi soal kompetensi, rekam jejak, apalagi visi dan misi yang ingin diperjuangkan si calon.

Yang selalu ditonjolkan adalah semata-mata faktor kesamaan itu tadi. Selanjutnya ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan mengenai pentingnya ada perwakilan dari golongan "kita" yang duduk di kekuasaan.

Isu-isu yang memantik sentimen "kekitaan" kembali diangkat. Dalam konteks gereja misalnya, isu mengenai sulitnya memperoleh izin pembangunan rumah ibadah dan penutupan gereja akan terus dikumandangkan.

Saya kira, pada momen mendekati pemilu seperti saat ini, jemaat gereja harus bersikap yang jelas dan tegas, tak boleh abu-abu apalagi ragu-ragu. Ketentuan yang ada sudah jelas melarang penggunaan tempat ibadah sebagai panggung untuk berkampanye politik.

Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 ayat 1 huruf h menyebutkan ada 3 (tiga) tempat yang dilarang untuk berkampanye. Ketentuan tersebut berbunyi, "Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan."

Gereja jelas-jelas masuk dalam kategori tempat ibadah. Maka, "haram" hukumnya dijadikan sebagai tempat berkampanye. Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, sudah seharusnya aturan yang ada dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab.

Pada salah satu bagian dalam kitab suci juga jelas disampaikan teladan dan perintah Yesus mengajarkan bahwa kita harus patuh terhadap pemerintah dalam artian patuh pada aturan/peraturan yang berlaku.

Pimpinan dan pengurus gereja harus faham betul dan berkomitmen untuk menjalankan aturan ini dengan sepenuh hati. Sekalipun ada beberapa anggota jemaat yang ikut mencalonkan diri dalam kontestasi, tetap tak bisa dijadikan alasan pembenaran untuk melanggar aturan.

Gereja harus menjaga posisi dan fungsinya tetap murni sebagai pendidik, pengajar, pengingat, pelayan dan penuntun akhlak seluruh jemaatnya agar tetap hidup dengan standar kebenaran Firman Tuhan dan teladan Yesus, Sang Juruselamat.

Dalam setiap adanya upaya yang mencoba menjadikan gereja sebagai panggung kampanye politik, gereja harus bersikap tegas dan tidak berkompromi. Ingatlah, sekali saja gereja membuka diri alias berkompromi, maka itu mungkin akan berdampak besar bagi keutuhan jemaatnya.

Bayangkan bila pengurus gereja memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk berkampanye, padahal banyak anggota jemaat yang sudah memiliki rencana pilihannya sendiri. Dalam konteks ini, bukankah gereja bisa dituding sebagai partisan atau tim sukses calon tertentu? 

Selanjutnya, saya kira, bukan hanya praktik kampanye terang-terangan di dalam gereja yang harus ditolak dengan tegas. Praktik kampanye terselubung dengan ragam modusnya pun sama saja, harus ditolak.

Pada momen pemilu sebelumnya, sering terdengar ada acara khusus di gereja untuk mendoakan atau mengutus para kandidat yang akan bertarung di pemilu. Para kandidat dimaksud tentu saja terdaftar sebagai anggota jemaat gereja bersangkutan.

Menurut saya, ini pun semestinya dihindari. Bila hanya ingin mendoakan, tentu dalam setiap kesempatan ibadah, hal tersebut bisa dilakukan tanpa harus membuat acara khusus.

Demikian halnya dengan istilah acara pengutusan. Saya kira, dalam setiap penutup rangkaian ibadah gereja, para hamba Tuhan sudah selalu menyampaikan kalimat-kalimat berkat, firman yang menjadi penguat dan tentu saja kalimat-kalimat pengutusan pada seluruh warga jemaat. Bukankah semestinya itu sudah cukup?

Akhirnya, para kandidat yang akan bertarung juga dituntut kesadaran dan ketaatannya untuk taat pada aturan yang ada. Bila mereka benar ingin mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik, tentu bisa dimulai dari hal sederhana namun mendasar.

Salah satunya dengan memberikan teladan untuk hidup taat terhadap peraturan yang ada yaitu tidak menjadikan gereja sebagai panggung kampanye politik.        

***

Jambi, 4 Februari 2019  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun