Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ihwal Isu Sawit yang "Mengganggu" Jokowi

18 Desember 2018   21:41 Diperbarui: 19 Desember 2018   06:54 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat buah simalakama, Presiden Jokowi terlihat selalu salah kala menyampaikan pernyataan terkait kelapa sawit. Kira-kira sebulan yang lalu, banyak yang mencibir saat Jokowi melontarkan ide pentingnya pendirian fakultas kelapa sawit.

Ide tersebut disampaikan Jokowi saat menghadiri acara peresmian masjid kampus "Ki Bagus Hadikusumo" dan perubahan bentuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah serta peletakan batu pertama pembangunan menara Universitas Muhammadiyah Lamongan di kampus STIKES Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur.

"Negara kita ini memiliki kekuatan besar misalnya kelapa sawit, tapi sampai sekarang ini belum ada fakultas kelapa sawit. Ada yang namanya produk kopi, tidak ada di Indonesia ini (fakultasnya)," kata Jokowi.

Kritik tajam langsung datang bertubi-tubi. Jokowi dituding tidak peka terhadap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan itu. Telah banyak konflik sosial dan sengketa perebutan lahan yang terjadi di tingkat tapak. Selanjutnya soal isu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Baru saja sedikit reda, Jokowi kembali harus mendapat cemoohan, (lagi-lagi) berkaitan dengan kelapa sawit. Ini terjadi saat Jokowi berkunjung ke Jambi.

Minggu (16/12), Presiden membagikan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perhutanan Sosial seluas 91.000 hektar kepada 8.100 petani di Provinsi Jambi bertempat di Taman Pinus, Kenali, Kota Jambi.

Presiden sempat terdiam mendengar keinginan para petani yang berencana menanam sawit di lahan yang akan mereka kelola. Presiden mencoba menjelaskan fakta dan kondisi yang terjadi hari ini. 

Jumlah lahan sawit di Indonesia sudah terlampau besar, mencapai 13 juta hektar dengan jumlah produksi mencapai 42 juta ton. Melimpahnya jumlah produksi tersebut memicu harga di pasar internasional terus menurun. 

Apalagi, saat ini negara-negara di Uni Eropa memberlakukan banned bagi komoditas sawit asal Tanah Air. Sebab, di sana sedang dikembangkan minyak serupa sawit yang berasal dari biji bunga matahari sehingga Presiden Jokowi yakin lama kelamaan sawit tidak akan bernilai lagi di masa depan.

Presiden pun mengajak para petani untuk cermat melihat peluang. Petani masa kini harus menanam komoditas yang mempunyai nilai lebih. Ia mencontohkan beberapa komoditas, yakni kopi, jengkol, petai, nilam, atsiri, kayu manis, dan manggis.

Tak lama berselang, salah satu media online menurunkan judul berita yang agak menggelitik "Harga Sawit Turun, Jokowi Minta Petani Tanam Petai dan Jengkol". Benar, sumber berita tersebut langsung dimanfaatkan sekelompok orang sebagai dasar untuk mengolok-olok Jokowi.

Tentu kita bisa maklum, Jokowi saat ini selain bertugas sebagai Presiden, ia juga sedang menyandang status sebagai calon presiden di pilpres mendatang. Sehingga, apapun pernyataan yang disampaikannya, pasti akan "digoreng" sedemikian rupa oleh para lawan politiknya.

Jokowi dituding tidak mampu berbuat apa-apa terkait kondisi terus menurunnya harga kelapa sawit yang sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Himbauan agar para petani tidak lagi menanam sawit, dianggap tidak "nyambung" dan tidak menyelesaikan persoalan. Politisi PAN menyebut himbauan Presiden ibarat Jaka Sembung Bawa Golok.

Tudingan terhadap Jokowi demikian kuatnya, sampai-sampai kita tak mampu mendengar suara-suara pembelaan dari mereka yang sebelumnya sempat menghujat Jokowi sebagai "antek kelapa sawit". Atau memang suara-suara pembelaan itu tidak pernah ada?.     

Turunnya harga kelapa sawit di pasaran memang cukup mengganggu pemerintahan saat ini. Presiden Jokowi sendiri sempat mengakui bahwa itu berpotensi ikut menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, sesuai rilis beberapa lembaga survey.

Kejujuran     

Terlepas dari dinamika dan kepentingan politik pemilu, himbauan Jokowi agar para petani tidak lagi menambah areal tanaman kelapa sawit sebenarnya patut diapresiasi. Bila sekadar berhitung elektabilitas, saya yakin Jokowi takkan sembarangan melontarkan himbauan tersebut.

Cukup dengan membiarkan dan memberikan dukungan pada para petani yang masih ingin menanam sawit sembari menyampaikan janji akan terus memperjuangkan kenaikan harga jual kelapa sawit, sebenarnya sudah beres.

Tentu saja risikonya cukup besar. Investasi waktu, biaya dan tenaga yang dibutuhkan untuk bertanam sawit jelas bukan main-main. Lalu, apa jadinya bila itu semua menjadi sia-sia karena harga jual yang ternyata tak menentu? Sementara bila sawit sudah terlanjur ditanam, untuk menggantinya dengan komoditas lain pun tidak mudah, lagi-lagi harus mengeluarkan biaya yang besar. 

Saya melihat, pernyataan dan himbauan Jokowi agar petani tak lagi menanam sawit sebenarnya sebuah bentuk kejujuran sekaligus antisipasi agar para petani tak menjerit lagi karena merugi. Untuk apa berbondong-bondong menanam sawit, sementara banyak komoditi lain yang berpotensi untuk digarap? Logikanya sesederhana itu.    

Berkaitan dengan harga jual kelapa sawit yang terus menurun, Jokowi sebenarnya sudah mencoba memaparkan kondisi dan permasalahan sebenarnya. Artinya, pemerintah tidak sedang berpangku tangan menyaksikan tren penurunan harga. Namun, itu memang berkaitan dengan pasar internasional yang banyak negara punya kepentingan masing-masing di dalamnya.        

Lagipula, siapapun tahu hukum dasar ekonomi bahwa jumlah penawaran selalu berbanding terbalik dengan harga permintaan. Semakin besar jumlah barang yang diproduksi, maka harganya akan cenderung turun.

Kita juga bisa cek berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah termasuk melobi negara-negara lain agar menambah jumlah impor kelapa sawit dari Indonesia.

Dengan tidak ikut-ikutan larut dalam kompetisi politik yang ada apalagi sampai memelihara kebencian yang berlebihan, semua informasi sebenarnya bisa kita akses secara luas dan bisa kita pertimbangkan dan nilai sendiri tentunya dengan mengedepankan kejujuran.

***

Jambi, 18 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun