Presiden Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Konon regulasi ini salah satunya untuk menjawab tuntutan tentang kejelasan nasib masa depan tenaga honorer yang tersebar di berbagai instansi pemerintah dan jumlahnya cukup besar, mencapai jutaan orang.
Bahwa masih banyak yang belum puas dengan aturan ini karena dianggap belum mengakomodir seluruh harapan dan tuntutan, tentu merupakan hal yang sah dan wajar saja. Termasuk komentar negatif beberapa politisi (oposisi) yang menganggap aturan ini dibuat karena terkait dengan kepentingan politik menjelang tahun pemilu.
Satu hal yang pasti, rezim ini sudah coba memberikan jalan keluar terhadap salah satu "PR" besar bangsa ini yang selalu muncul dari tahun ke tahun. Sekali lagi, terlepas bahwa aturan ini dianggap masih belum memenuhi seluruh harapan sekaligus tudingan adanya motif politik mengingat aturan ini keluar tepat beberapa bulan menjelang pelaksanaan pemilu.
Perlu diingat, peraturan ini dibuat untuk memenuhi mandat UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya pasal 107, berkaitan dengan manajemen PPPK yang telah diatur dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 106, harus diatur dalam Peraturan Pemerintah. Â Â Â Â Â Â
Dengan demikian, butuh waktu nyaris 5 tahun untuk sekadar melahirkan PP ini. UU ASN sudah diterbitkan sejak bulan Januari 2014. Sementara PP ini baru diterbitkan pada 28 November 2018 lalu.
Hal menarik berikutnya, UU ASN sebenarnya sudah jelas menyebutkan bahwa yang bisa disebut sebagai ASN tidak hanya PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Fasilitas dan hak yang bisa diterima keduanya sama, yang membedakan hanya soal jaminan masa pensiun.
Namun, ketentuan ini bisa dipastikan belum terlaksana karena PP yang mengatur lebih lanjut baru terbit kemarin. Pertanyaannya, setelah PP ini terbit, lalu mau apa?
Saya melihat, PP ini lebih dari sekadar mengatur tentang kejelasan nasib dan masa depan tenaga honorer di republik ini melainkan juga tentang masa depan ASN secara umum yang berfungsi sebagai pelayan publik.
Ke depannya, instansi pemerintah sudah dapat merekrut tenaga-tenaga profesional di luar PNS melalui skema PPPK. Ada ruang dan peluang yang dibuka untuk mereka yang benar-benar merasa terpanggil untuk masuk dan bekerja di birokrasi pemerintahan.
Saya membayangkan, kelak bila hal ini diterapkan dengan baik tentunya akan semakin membenahi wajah birokrasi di mata publik. Ada harapan birokrasi bisa lebih optimal menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik karena didukung lebih banyak lagi tenaga-tenaga profesional dan mumpuni.
Secara tidak langsung, "persaingan sehat" sesama ASN bisa diciptakan. Ide perampingan dan pengoptimalan tenaga birokrasi bisa mendekati kenyataan. Bukan rahasia lagi, selama ini kebanyakan instansi birokrasi kita kerap dipersepsikan terlalu "gemuk" sehingga lamban bergerak.
Belum lagi jika dikaji lebih dalam mengenai profesionalitasnya. Di dunia birokrasi juga sempat berkembang istilah PGPS (Pintar Goblok Penghasilan Sama). Sistem penggajian yang dianut memang masih dominan dihitung berdasarkan lamanya pengabdian masa kerja. Itu memang sudah mulai diimbangi melalui skema pemberian remunerasi (tunjangan kinerja) yang ditetapkan berdasarkan analisa risiko/beban pekerjaan.
Meskipun demikian, sebaik-baiknya motif dan tujuan PP ini, efektivitas dan hasilnya tentu masih menjadi pertanyaan. Saya memikirkan, sekurang-kurangnya ada dua hal yang bisa menjadi penentunya.
Pertama, dengan sistem pemberian dan besaran fasilitas dan penghasilan ASN pada umumnya saat ini, akankah bisa menarik minat para profesional yang dicari dan diharapkan? Atau jangan-jangan, mereka tetap tak akan merasa tertarik dan lebih memilih berkecimpung di luar birokrasi?
Sejujurnya, kebanyakan orang memilih menjadi PNS karena menawarkan kepastian kenyamanan (penghasilan rutin tiap bulan) serta adanya jaminan hari tua (pensiun). Sementara bagi mereka yang tertantang mengejar kemapanan, tentu saja menjadi PNS adalah pilihan kesekian.
Ditambah lagi berdasarkan PP yang ada, ASN melalui skema PPPK justru tak mendapat jaminan pensiun. Lagi-lagi pertanyaannya, apakah para profesional yang disasar itu benar-benar tertarik dan mau bergabung?
Kedua, sistem perekrutan. Ini patut mendapat perhatian penting. Tiada gunanya tujuan dan aturan yang baik bila pada pelaksanaanya justru tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Harapan mendapatkan amunisi tenaga-tenaga profesional dalam tubuh birokrasi bisa buyar seketika bila perekrutan dikerjakan serampangan.Â
Upaya merekrut tenaga-tenaga profesional bisa berhasil bila dikerjakan secara profesional pula. Sistem yang telah terbiasa mengedepankan faktor KKN takkan mungkin bisa melaksanakan ini.
Seperti istilah, akan lebih baik dan berguna aturan yang kurang baik namun dijalankan orang-orang baik dengan niat yang baik pula dibandingkan aturan yang "sempurna" namun dijalankan orang-orang yang punya niat tidak baik.
***
Jambi, 4 Desember 2018 Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H