Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan featured

Ketika UU ITE Digunakan Menjerat Saksi dan Korban

16 November 2018   19:14 Diperbarui: 9 Juli 2019   12:01 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petisi gerakan menyelamatkan Ibu Nuril di laman Change.org. (Foto: SAFEnet/www.change.org)

Perlindungan  

Sebelum Bu Nuril, UU ITE juga sempat menelan korban yang lain. Beberapa tahun sebelumnya, publik sempat heboh dengan kasus yang dialami Prita Mulyasari. Hanya gara-gara menyampaikan keluhan terkait pelayanan rumah sakit, Prita menjadi tersangka dan ditahan lagi-lagi karena dituduh melanggar UU ITE. Lebih mengenaskan, saat itu Prita sedang dalam kondisi hamil. 

Wisniati, seorang perempuan asal Bandung, Jawa Barat juga pernah terkena pidana lima bulan penjara. Sebabnya, dia dilaporkan oleh mantan suaminya sendiri dengan pasal serupa yang dijeratkan pada Nuril. Masih banyak kasus yang lain. 

Fakta-fakta ini yang membuat publik mempertanyakan manfaat UU ITE yang ternyata dirasakan sudah melenceng dari tujuan awalnya. Regulasi ini terkesan menjadi alat untuk membungkam bahkan menjerat para saksi dan korban. Bagaimana mungkin seorang korban pelecehan seperti Nuril justru menjadi tersangka dan dijatuhi vonis hukuman sementara dia sedang mempertahankan kehormatan dirinya. 

"Kasus yang dialami Nuril memang wajar mengusik rasa kemanusiaan kita. Sejatinya, Nuril adalah korban pelecehan seksual oleh oknum kepala sekolah yang sering menghubunginya lewat telefon dan melontarkan kalimat-kalimat cabul."

Banyak desakan agar UU ITE ini segera direvisi bahkan bila perlu dicabut. Tujuannya tentu saja agar tak ada lagi orang-orang yang menjadi korban seperti Nuril, Prita, Wisniati, dan lainnya.             

Kisah pilu yang dialami para korban seolah memberikan sinyal pada para saksi dan korban agar berpikir ulang berkali-kali sebelum memutuskan melaporkan tindak pidana yang dilihat atau dialaminya secara langsung. Agar tak repot berurusan dengan hukum, maka para saksi dan korban harus tutup mulut.

Kondisi ini jelas sangat tidak ideal bagi kemajuan bangsa. Negara semestinya berperan mendorong peran serta aktif masyarakat agar tidak apatis melainkan pro aktif melaporkan setiap tindak kejahatan yang diketahui bahkan mungkin dialaminya secara langsung, bukan malah mendiamkannya.

Pelibatan masyarakat agar lebih berani menjadi saksi, terlebih lagi mereka yang menjadi korban langsung suatu tindak kejahatan secara normatif sudah dijamin setelah terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sebagai lembaga profesional, LPSK mengemban tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

Logo LPSK (KOMPAS.com/SRI LESTARI)
Logo LPSK (KOMPAS.com/SRI LESTARI)
Berkaitan dengan tugas perlindungan saksi dan korban, saya melihat sepertinya UU ITE telah berubah menjadi "musuh" yang kontra terhadap tugas mulia yang diemban LPSK. Sementara LPSK bertugas melindungi, UU ini justru menjadi alat menjerat saksi dan korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun