Logika pembuatan peraturan perundang-undangan kita semestinya senantiasa bertujuan menciptakan keteraturan serta memberi kemanfaatan bagi publik. Sehingga ada yang salah ketika sebuah peraturan justru menimbulkan kegaduhan baru dan bahkan kurang dirasakan manfaatnya oleh publik.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.
UU ITE ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Secara normatif, UU ini bertujuan baik yaitu sebagai respon terhadap kemajuan teknologi informasi dan potensi pelanggaran yang mungkin terjadi. UU ini bisa dikatakan sebagai "rambu-rambu" yang mengatur publik khususnya terkait penggunaan informasi dan transaksi elektronik.Â
Sayang sekali, pada praktiknya kita melihat UU ini justru disalahgunakan menjadi alat yang digunakan untuk membungkam bahkan menjerat para saksi dan korban. Kasus teranyar dialami Baiq Nuril Maknun, seorang staf honorer di salah satu sekolah menengah di Mataram.Â
Nuril seperti harus menelan pil pahit, ia divonis bersalah melanggar UU ITE dan harus menjalani hukuman 6 bulan penjara, denda 500 juta rupiah. Publik bereaksi keras dan menuntut Nuril dibebaskan. Di dunia maya, teriakan dan tuntutan tersebut menggema begitu hebat. Ada pula yang menginisiasi pengumpulan dana untuk membayar vonis Nuril dan sampai hari ini sudah menyentuh angka lebih dari 100 juta rupiah.Â
Kasus yang dialami Nuril memang wajar mengusik rasa kemanusiaan kita. Sejatinya, Nuril adalah korban pelecehan seksual oleh oknum kepala sekolah yang sering menghubunginya lewat telefon dan melontarkan kalimat-kalimat cabul.Â
Nuril yang merasa tidak nyaman dengan perilaku sang kepala sekolah kemudian merekamnya. Oleh seorang teman Nuril, perbincangan tersebut terbongkar dan beredar di masyarakat. Oknum kepala sekolah tersebut tidak terima dan melaporkan Nuril ke polisi.Â
Sejak 27 Maret 2017, Nuril diproses polisi dan ditahan. Nuril disangkakan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Dia pun ditahan di tingkat penyidikan hingga persidangan.Â
Pada Juli 2017, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril. Hakim PN Mataram menilai perbuatan Nuril tidak melanggar UU ITE di pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) tersebut sebagaimana dakwaan jaksa.Â
Naas dialami Nuril, pada sidang kasasi yang diketuai majelis hakim agung Sri Murwahyuni, dengan anggota majelis hakim agung Maruap Dohmatiga Pasaribu dan hakim agung Eddy Army, Nuril justru divonis bersalah. Nuril yang merupakan korban pelecehan malah berbalik menjadi tersangka dan terancam menjadi tahanan di penjara.