Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Quo Vadis, Badan Pengawas Pemilihan Umum...

1 September 2018   10:55 Diperbarui: 1 September 2018   16:46 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kinerja Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sedang menjadi sorotan sekurang-kurangnya lantaran dua hal yang sudah mereka putuskan baru-baru ini. Pertama, Bawaslu menyatakan laporan atas dugaan mahar Rp 1 triliun yang dilakukan Sandiaga Uno tidak bisa dibuktikan.

"Bahwa terhadap pokok laporan nomor 01/LP/PP/RI/00.00/VIII/2018 yang menyatakan diduga telah terjadi pemberian imbalan berupa uang oleh Sandiaga Uno kepada PAN dan PKS pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dibuktikan secara hukum," kata Ketua Bawaslu Abhan, dalam keterangan tertulis, Jumat (31/8/2018).

Dengan demikian, Sandiaga dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran Pemilu dalam kasus tersebut. Kita ingat awal kasus tersebut bermula dari cuitan salah satu petinggi partai Demokrat, Andi Arief lewat akun twitter pribadinya yang memunculkan istilah "jenderal kardus". 

Andi Arief mengaku kecewa dengan putusan Bawaslu. Ia merasa heran bahkan menuding Komisioner Bawaslu pemalas dan tidak serius. Pasalnya, Bawaslu selalu mengungkapkan ketidakhadiran dirinya membuat proses pemeriksaan atas dugaan ini menjadi sulit dibuktikan. 

Andi beralasan saat dipanggil Bawaslu dirinya sedang berada di Lampung dan dirinya sudah menawarkan agar pihak Bawaslu mendatanginya ke Lampung dan meminta keterangan darinya. 

Tidak hanya Andi, banyak pihak juga menyoroti putusan tersebut. Bawaslu terkesan terburu-buru mengambil putusan tersebut. Padahal Sandiaga Uno yang dituduh memberi mahar Rp 1 triliun kepada PAN dan PKS bahkan belum pernah dipanggil dan dimintai keterangan. 

Publik pun tak lupa bahwa Sandiaga sendiri sudah mengakui adanya pemberian dana tersebut meskipun menurutnya itu bukan mahar melainkan untuk biaya kampanye.  

Politisi bermasalah 

Hal kedua yang menjadi sorotan terkait kinerja Bawaslu adalah keputusan meloloskan calon anggota legislatif (caleg) yang berstatus sebagai eks narapidana korupsi. Bawaslu sudah meloloskan sejumlah mantan koruptor menjadi bakal caleg 2019. Mereka berasal dari Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, Bulukumba, dan DKI Jakarta. 

Pada masa pendaftaran bacaleg, para mantan napi kasus korupsi tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU. Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 memang jelas memuat larangan mantan napi kasus korupsi mendaftar sebagai caleg. 

Para mantan napi kasus korupsi yang tidak diloloskan KPU kemudian melapor ke Panwaslu atau Bawaslu setempat, ternyata dimenangkan dan dinyatakan memenuhi syarat (MS). 

Yang janggal dari putusan Bawaslu adalah ketika mereka terkesan mengabaikan peraturan yang sudah dikeluarkan KPU yaitu PKPU Nomor 20 tahun 2018. Padahal, KPU dan Bawaslu sama-sama sebagai penyelenggara Pemilu. 

Andaipun Bawaslu tidak sepaham dengan isi PKPU tersebut, semestinya bersabar menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) yang sedang menguji peraturan tersebut. Sementara MA belum mengeluarkan putusan apapun, seharusnya Bawaslu tak berani membuat keputusan sendiri. Keputusan Bawaslu saat ini justru terkesan terburu-buru.  

Tak bisa disalahkan, saat ini publik mulai menyoroti bahkan mencurigai kinerja Bawaslu. Apa motivasinya, sehingga Bawaslu terkesan begitu ngotot "membela" para caleg bermasalah. Bawaslu terkesan melawan logika publik yang mayoritas justru mendukung terobosan yang dilakukan KPU melalui peraturan yang melarang mantan napi kasus korupsi maju sebagai calon legislatif. 

Kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat publik termasuk para anggota legislatif jelas-jelas sudah melukai hati publik. Mereka yang sudah diberi amanah sekaligus diberi berbagai fasilitas dan kemudahan justru berkhianat untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya. 

Publik menginginkan para calon yang maju di Pemilu mendatang benar-benar merupakan calon terbaik yang bersih dan tidak terindikasi berpotensi bermasalah secara hukum. Cukuplah publik selalu dikecewakan saat melihat para pejabat publik terciduk aparat penegak hukum akibat korupsi. 

Harapan publik sempat muncul ketika KPU berani melakukan terobosan hukum dengan melarang para mantan napi korupsi menjadi caleg. Kebijakan ini memang banyak mendapat penolakan khususnya dari beberapa partai politik yang terang-terangan masih tetap mengajukan nama-nama mantan napi korupsi menjadi caleg. Akibat putusan Bawaslu, posisi mereka kini bahkan ibarat sedang di atas angin. 

Harapan terakhir memang ada di tangan publik yang memiliki hak suara agar saat pemilu nanti benar-benar jeli memerhatikan rekam jejak calon yang akan dipilih. Jangan asal memilih, melainkan harus bisa bertanggung jawab. 

Kita jelas kecewa menyaksikan tontonan yang tidak menarik ini. Ketika sesama penyelenggara pemilu justru tak memiliki sikap yang sama untuk mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas. Quo Vadis, Bawaslu.   

***

Jambi, 1 September 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun